Politik Yang (tidak) Bermartabat Selasa, 24 Februari 2009 | 19.00 Oleh: Rudi Hartono
Menjelang pemilu, para elit dan partai politik sibuk memamerkan maneuver politik. Terkadang, maneuver politik yang dilakukan para elit ini menempuh cara-cara kotor, tidak bermartabat. Ada begitu banyak contoh; dalam bentuk iklan kampanye, intrik politik, hingga pertikaian terbuka antar politisi atau partai.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, partai-partai pemerintah berlomba-lomba memasang iklan keberhasilan mensejahterakan rakyat, tanpa sedikitpun rasa malu. Padahal, berdasarkan pendapat rakyat, persoalan kesejahteraan kini menjadi masalah besar yang dihadapi rakyat; kesulitan pemenuhan kebutuhan pokok, kesulitan mengakses pendidikan, kesulitan memperoleh layanan kesehatan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan lain-lain.
Politik dan Kekuasaan
Ada yang menyatakan; demokrasi kita masih kanak-kanak, masih pembelajaran, maka tidak apa jika biasanya tidak punya etika. Anehnya, SBY sering berceramah bahwa Indonesia sudah mengalami kemajuan demokrasi. Demokrasi di Indonesia ibarat permainan, dapat dipergunakan dan dipermainkan oleh siapa saja. Padahal, demokrasi memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral, etika, dan aturan main (rule of the game).
Di sini, kita mengenal istilah berpolitik dan kekuasaan. Kegiatan berpolitik adalah seni membentuk dan menggunakan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan bersumberkan dari rakyat (people), dan kemudian dijalankan oleh seorang penguasa (ruler). Karena kekuasaan itu bersumberkan pada rakyat, maka konsep demokrasi menyebutkan bahwa sebenarnya kekuasaan ditangan penguasa bersifat mandate. Maka, kekuasaan dalam sistim demokrasi bersifat tidak inheren di tangan penguasa.
Dengan demikian, berpolitik adalah bertindak pada situasi real guna melahirkan kekuasaan yang memihak, melayani, dan mensejahterakan rakyat. Akhirnya, berpolitik bukan sebagai seni kemungkinan (possible), tetapi seperti yang dikatakan Martha Harnecker, politik adalah seni mengubah apa yang tidak mungkin hari ini menjadi mungkin di hari esok. Untuk itu, seorang politisi harus punya pijakan, baik dalam merumuskan cita-cita jangka panjang (ideal) maupun dalam praktik berpolitik sehari-hari (etika). Pijakan bagi seorang politisi dan partai dalam berpolitik adalah konsepsi ideology.
Maka, sesungguhnya berpolitik itu sungguh mulia, beradab, dan bermartabat. Filsuf perempuan, Hannan Arendt, dalam human condition, menyatakan politik itu punya kandungan moral dan etika yang tak dapat dicabut atau diabaikan. Tetapi, seperti yang dikatakan Gramsci, politikus tidak muncul dari kekosongan, melainkan dari aktifitas real (nyata). Maka, berpolitik adalah tindakan sadar untuk masuk dalam perimbangan kekuatan dalam perebutan kekuasaan. Ini yang dimaksud kontestasi politik.
Politik Yang Tidak Bermartabat
Dalam demokrasi liberal, penyerahan kekuasaan dari rakyat ke tangan kekuasaan berifat inheren, melekat, dan akhirnya rakyat mengalami "powerless". Rakyat hanya sekedar pemberi cap (legitimator), yang diwujudkan dalam proses pemilihan umum, maupun penyampaian aspirasi oleh gerakan sosial. Disini, kegiatan berpolitik bukan lagi seni mengkreasi kekuasaan yang melayani dan mensejahterakan rakyat, tetapi berpolitik untuk menjadikan kekuasaan menjadi milik segelintir elit (tirani minoritas). Akhirnya, politik seolah-olah menjadi tidak bermartabat, tidak beradab, dan tidak humanis.
Ada banyak contoh politik yang tidak bermartabat, diantaranya; politisi atau partai yang membuat kampanye bohong, membuat janji politik dan kemudian mengingkarinya, menyelenggarakan politik uang untuk memanipulasi dukungan, dan bentuk-bentuk-bentuk berpolitik yang anti rakyat lainnya.
Menurut saya, disini ada beberapa factor yang menyebabkan berpolitik di Indonesia tidak bermartabat; pertama, kekosongan ideology. Hal ini menyebabkan partai tidak memiliki pijakan dan dasar dalam bertindak, tidak punya konsepsi ideal yang dipegang teguh dan diperjuangkan. Yang membimbing mereka adalah pragmatisme, bukan pertimbangan-pertimbangan ideologis.
Kedua, lemahnya control sosial dan partisipasi politik rakyat, dalam hal ini institusi-institusi sosial dan partisipatif yang mencerminkan kehendak politik rakyat dalam penyelenggaraan kekuasaan. Dalam demokrasi liberal, dimana keputusan lahir dari lembaga parlemen, atau bahkan "senat virtual" yang berisikan orang yang punya kekuasaan dan kemampuan lobby, maka peran politik rakyat dalam penyelenggaraan kekuasaan menjadi minimalis, bahkan tidak ada.
Ketiga, kehancuran partai sebagai infrastrktur politik. Partai tidak lagi menjadi alat perjuangan, tempat menempa kesadaran politik rakyat, tetapi sekarang ini menjadi mesin (kendaraan) pencari kekuasaan pribadi. Tidak ada lagi pendidikan politik, kursus kader, tradisi berdiskusi dan berdebat, bahkan pencipta gagasan.
Rudi Hartono, Aktifis Politik; Pengelola Berdikari Online dan Jurnal Arah Kiri. Selain itu, menjadi Koordinator penelitian di Lembaga Survey, Partisipasi Indonesia (PI). Baca selengkapnya di http://arahkiri2009.blogspot.com "Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia" (Multatuli) Kunjungi website http://www.arahkiri2009.blogspot.com
|
No comments:
Post a Comment