Oleh: RUDI HARTONO
Bulan desember, akhir tahun. Sebagai makhluk berfikir, punya kehendak maju, serta punya keinginan besar menjadikan hari depan sebagai hari kemenangan, maka tak henti-hentinya kita melakukan evaluasi, koreksi-koreksi atas perjalanan setahun kita melalui catatan-catatan akhir tahun. Dan manusia yang yang tidak punya catatan, tidak punya koreksi, adalah juga manusia merangkak menuju kemajuan, meminjam Rosa Luxemburg, adalah tindakan mengulang "Usaha Sisyphus". Tokoh dalam mitos yunani yang terpaksa mendorong batu ke puncak bukit, dan ketika mulai mencapai puncak, maka batu itu kembali jatuh ke bawah.
Demikian pula dengan catatan barbarisme. Kendati selalu dikutuk dan dinyatakan sebagai perbuatan yang tak cocok dengan kehidupan modern; yang demokratis, yang selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Tetapi, tetap saja barbarism di praktekkan oleh masyarakat modern, bahkan dalam bingkai hukum dan demokrasi.
Kini menggunakan istilah "barbarisme", seperti juga diyakini Ian Angus, terhadap berbagai tindakan atau kondisi sosial yang terlampau tak berperi-kemanusiaan, perilaku terlampau kejam, dan aksi kekerasan yang berada diluar toleransi kemanusiaan.
Gelombang Barbarisme
Pertengahan bulan Desember, polisi memulai gelombang kekerasan terhadap mahasiswa yang menolak pengesahan UU BHP. Di Makassar, kampus terbesar disana diserbu aparat kepolisian bersenjata lengkap. Di Jogjakarta, aksi mahasiswa menolak kedatangan SBY di kota itu direfresi polisi. Seluruh peserta aksi mendapatkan perlakuan kasar sebelum ditangkapi.
Tidak cukup rupanya. Dusun Suluk Bongkal yang jauh di pedalaman Bengkalis sana, tiba-tiba mengemuka di panggung nasional, bahkan internasional. Siang hari (18/12), Suluk Bongkal diserbu dari darat dan udara oleh ribuan orang bersenjata lengkap, punya gas air mata, buldoser, ditambah dua helicopter yang menjatuhkan bom napalm dari atas udara. Akibatnya, 200 warga ditangkap, 2 orang terkena tembakan, 2 orang bocah tewas, sekitar 700 rumah ludes terbakar, dan lahan pertanian juga mengalami kerusakan berat. Benar-benar barbar.
Dusun Suluk bongkal bukan lah basis gerilayawan, bukan pula perkampungan teroris, tetapi diserbu layaknya musuh yang hendak dimusnahkan. Yang diserbu ini adalah ribuan keluarga petani yang selama ratusan tahun, tanpa perhatian pemerintah sedikitpun, mengubah kerasnya hutan menjadi lahan pemukiman, pertanian, dan sebagainya. Anehnya, pihak penyerbu ini menggunakan seragam apparatus penegak hukum, katanya.
Di tingkat Internasional, Israel juga melancarkan serangan udara dan darat terhadap kota Gaza, Palestina. Sudah diduga, serangan brutal pasukan militer Israel hanya menewaskan korban sipil tak berdosa. Dalam sekejap, kota goza menjadi kota kematian, dimana ribuan mayat bergelimpangan, dan seluruh kota telah menjadi puing. Dalam bulan desember ini saja. Hanya dalam hitungan 12 jam saja, Israel telah membunuh 220 orang palestina, dan lebih dari 700 orang luka-luka. Bayangkan, setiap detiknya mereka menciptakan kematian kepada orang-orang tak berdosa, hanya untuk memuluskan profit.
Orang boleh tumpah ruah di jalanan memberikan dukungan solidaritas terhadap rakyat Palestina, bahkan bersedia menjadi sukarelawan kesana, tetapi menurut saya, bahwa ada kenyataan serupa di dalam negeri yang juga menuntut solidaritas dan sikap kita. Derita rakyat palestina adalah derita kemanusiaan, adalah derita kita juga, tetapi derita rakyat didalam negeri juga perlu diangkat, termasuk penyerangan polisi terhadap petani Suluk Bongkal. Tindakan Israel wajib dikutuk, tetapi kita tidak bisa menerapkan standar ganda, lantas menafikan kekerasan apparatus di dalam negeri. Ini kritikan kepada organisasi islam!
Barbarisme dan Krisis
Indonesia sudah berada dibawah krisis yang sangat parah. Sedemikian parahnya krisis ini, sehingga berdimensi cukup luas, dan menciptakan ketakutan kepada semua orang, tidak terkecuali para capres pemilu 2009. Pembuka tahun depan saja, lembaga survey sudah memprediksikan PHKS missal terhadap jutaan pekerja di berbagai sektor. Selain itu, pekerja di berbagai wilayan di Indonesia tidak dapat berharap banyak akan adanya kenaikan upah, karena sejak pemberlakuan SKB 4 menteri persoalan besaran pengupahan tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi.
Di tingkat internasional, para kapitalis utama sedang mengalami kesulitan dan kendala dalam meningkatkan profitnya. Keresahan mereka bersumber pada krisis financial yang mereka ciptakan sendiri, yang sedikit banyak dilimpahkan bebannya kepundak klas pekerja, tetapi sampai hari ini belum mereda. Krisis kian menjalar, bukan hanya disektor financial, kemudian otomotif, tetapi kini merambah ke seluruh cabang produksi kapitalis. Di sisi lain, mereka menghadapi potensi perlawanan dari klas pekerja di dalam negeri, terutama sektor-sektor sosial yang selama ini bergantung pada penjaminan dana pension, asuransi kesehatan, hingga kredit rumah. Upah dan standar hidup kelas pekerja di belahan eropa terus merosot tahun ini. banyak keluarga di AS kini hidup di tenda-tenda atau di dalam mobil mereka, karena rumahnya disita.
Harus diakui, bahwa agresifitas militer imperialis tidak juga menurun intensitasnya sejak tahun 1970-an, meskipun banyak pihak yang menilai fase ini akan melahirkan sedikit perubahan dalam tubuh kapitalisme, terutama mengenai cara menerapkan imperialisme. Seperti yang pernah dituliskan István Mészáros, bahwa seolah-olah agresifitas imperialism dalam pendekatan militer cenderung menurun, dan agresifitas ekonomi ---melalui washintong consensus—semakin meningkat, terutama dengan menggunakan tema baru "promosi demokrasi". Tetapi kenyataan berbicara lain, perluasan aktifitas NATO, kemudian intervensi imperialism dalam "tragedy balkanisasi", perang teluk, krisis di timur tengah, invasi Afghanistan, dan lain-lain. Agresifitas ekonomi berjalan beriringan dengan agresifitas penggunaan militer, terutama setelah AS menganut doktrin "pencegahan", tentu mereka semakin agresif dan advonturir.
Ini lah yang ditempuh pemerintahan kapitalis AS saat ini, dan diikuti juga oleh negara bonekanya, Indonesia. Setali tiga uang! Polisi Indonesia yang cukup banyak belajar dari militer AS, dengan kedok "memerangi terorisme", kemudian mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang didapatkannya kepada rakyat, persis seperti yang dilakukan militer-militer AS terhadap rakyat dunia ketiga di Vietnam, Somalia, Nikaragua, dll.
Dalam tradisi sosialisme, istilah "barbarisme sedikit banyak dijelaskan oleh Rosa Luxemburg, dalam artikel Junius pamphlet, yang dituliskan dalam penjara pada tahun 1915, saat menentang perang dunia pertama. Mengikuti Rosa Luxemburg, bahwa kapitalisme berdasarkan perang adalah bisnis yang berdiri atas reruntuhan dan puing-puing perang, atau profit yang bersemi seperti gulma, pada bidang yang sudah mati.
Refresi aparat kepolisian Polda Riau, misalnya, benar-benar merupakan kejahatan barbarian, dari sudut pandang hukum manapun. Polisi membakar 700 rumah warga, sarana produksi mereka (lahan pertanian, cangkul, dll), serta menangkap, dan membunuhi anak-anak, tanpa mengantongi dokumen hukum (surat putusan pengadilan, surat perintah institusi, dll). Dan setelah itu, polisi memanfaatkan sejumlah media, untuk memanipulasi fakta berdasarkan pengakuan-pengakuan warga yang diperas pakai intimidasi, serta dukungan organisasi-organisasi yang sudah lagi tak punya martabat.
Penjelasan polisi menyembur kemana saja dengan mudah. Sedangkan pernyataan dan kesaksian warga begitu sulit tersampaikan. Bahkan hingga mengetuk dari pintu ke pintu mereka yang punya kuasa pun, hal itu masih terasa sulit. Ini lah masyarakat kapitalisme yang sakit. Beserta seluruh institusi, pandangan-pandangan, dan keyakinan politiknya.
Hanya Sosialisme Jalan Keluarnya!
Boris Kagalitsky menyatakan bahwa sosialisme harus dipahami sebagai sebuah sistem alternatif yang radikal, bukan hanya berarti dia akan memperbaiki dan mengembangkan kapitalisme, tetapi dia adalah sebuah masyarakat baru yang akan menggantikan kapitalisme. Lebih lanjut Kagarlitsky mengatakan bahwa kebangkitan ideologi sosialis dan bangkitnya gerakan massa hanya merupakan alternatif bagi barbarisme.
Dalam Julius Famplet, Rosa mengacu pada Friedrich Engels, bahwa masyarakat borjuis berada di persimpangan jalan; apakah melakukan transisi ke sosialisme atau regresi ke barbarisme. Perang yang dikobarkan para imperialis adalah regresi ke barbarisme dan kejayaan imperialisme berarti penghapusan peradaban manusia. Sedangkan dalam kata Luxemburg; "kemanusiaan ini menghadapi pilihan: perceraian atau keruntuhan dalam alam anarki kapitalisme atau regenerasi melalui revolusi sosial.
Menurut saya, dari perkembangan sistim kapitalisme sekarang perlu di beri beberapa catatan;
Pertama, keyakinan bahwa metode pasar bisa mengatasi segala hal dalam sistim ekonomi semakin terbantahkan. Bukan pada krisis ini saja, ataupun krisis-krisis periodik yang sudah berlansung berkali-kali, karena memang Krisis adalah inherent dalam sistim kapitalisme yang berbasiskan kepemilikan pribadi, tetapi pada pencapaian kerusakan pada kesejahteraan ratusan juta manusia, kerusakan ekologi, dan kesenjangan baik antara orang kaya dan orang miskin, maupun antara Negara maju dan Negara miskin yang terus melebar.
Kedua, kapitalisme telah merendahkan derajat manusia se-begitu rendahnya, hingga pada taraf terendah dalam sejarah umat manusia. Di bawah anarki kapitalisme, solidaritas, kerjasama dan kepekaan sosial telah digantikan dengan kompetisi yang ganas, dan tragedy kemanusiaan dimana saja sudah dibiarkan lewat begitu saja, tanpa kutukan dan kecaman dari kita. Manusia semakin terisolasi pada sekat-sekat individualisme, dan melupakan bahwa kita sedang bermasyarakat.
kapitalisme pun sudah terseok-seok menjaga keseimbangannya. Krisis sekarang ini hampir-hampir menjatuhkannya. Meskipun kita mengetahui bahwa masih begitu banyak alat pengaman yang bisa dipergunakan. Tapi, kami juga yakin bahwa setiap tindakan penyelamatan itu hanya darurat, hanya menunda, dan menciptakan pengorbanan besar dari kaum pekerja dan umat manusia. Kemiskinan dan kelaparan menjadi muka nyata dari imperialisme sekarang ini. lebih dari 250 juta orang, kebanyakan warga sipil, telah tewas dalam peperangan dan pemusnahan massal selama abad 20 ini. dalam waktu hanya 8 tahun, lebih dari 3 juta orang tewas dalam perang di Irak, Afghanistan, dan berbagai perang di dunia ketiga. Setiap jam, 180 anak-anak mati karena kelaparan, dan 1200 meninggal karena penyakit yang tak tertolong (Ian Angus, 2008).
Di sisi lain, sebuah proyek menciptakan dunia baru diluar kapitalisme sedang berlansung di berbagai belahan dunia, baik oleh Negara maupun komunitas kecil. Di Venezuela, projek sosialisme telah membuka jalan pada partisipasi orang miskin dalam perencanaan, pendiskusian, dan pengelolaan ekonomi. Proyek ini memungkinkan transformasi secara perlahan kepemilikan dan kontrol swasta pada kepemilikan bersama, seperti melalui koperasi, co-management, dan memperluas manajemen dan kepemilikan Negara. Dalam mengurangi peran pasar, proses revolusi mulai memberikan ruang besar kepada mekanisme produksi, pertukaran, dan distribusi berdasarkan perencanaan komunitas, solidaritas, dan kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah memprioritaskan pemberian layanan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan publik, subsidi harga kebutuhan pokok, dan lain-lain, melalui sejumlah program sosial, reformasi agrarian, pembentukan neukleus komunitas kepada seluruh rakyat.
Hasilnya, revolusi berhasil mengangkat harkat dan martabat mayoritas rakyat Venezuela; akses terhadap air bersih telah meningkat dari 70% menjadi 95% dari seluruh populasi, upah minimum meningkat dan merupakan yang tertinggi di Amerika latin (sekitar 286US$ per-bulan dan tingkat kemiskinan turun signifikan. PDB Venezuela tumbuh rata-rata 11,8% dalam empat tahun dan pengangguran di tekan hingga kurang dari 6,3 %. Menurut UNDP, Indeks pembangunan manusia Venezuela meningkat dari 0,69 pada tahun 1998 menjadi 0,88 pada tahun 2007.
Cerita sukses Venezuela tentu berbeda dengan cerita di Indonesia. Di Indonesia, angka kemiskinan secara nyata terus meningkat dan menjangkau separuh lebih dari populasi. Belum lagi, jaminan atas pekerjaan dan kondisi kerja yang layak, akibat Indonesia harus mengikuti resep neoliberalisme. Jika revolusi di Venezuela telah melindungi hak-hak petani dan mengimpelementasikan program reformasi agrarian secara konsisten dan berkelanjutan, maka Petani Indonesia terus menerus menghadapi terror, kekerasan, dan pengusiran paksa dari tanah-tanah yang mereka duduki ratusan tahun, hanya karena proposal korporasi.
Di Venezuela, pemerintah memberikan layanan kredit murah, membangun bank pedesaan, menjamin pasokan pupuk, dan teknologi pertanian kepada para petaninya, maka di Indonesia, pajak yang dibayarkan rakyat digunakan untuk membeli helicopter dan bom napalm, guna mengusir paksa petani dari lahannya.
Dulu bung karno mengatakan; "Dis, engkau harus bantu usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja". Pesan itu disepelekan oleh pemimpin-pemimpin nasional sekarang ini, bahkan melakukan sebaliknya. Maka, menurut saya, tidak ada salahnya, jika sekarang ini kembali kita merujuk pada cita-cita Bung karno; sosialisme Indonesia Modern, bukan barbarisme.
Penulis adalah Pengelola Jurnal Arah KIRI dan Redaksi Berdikari Online
Baca Selengkapnya!
No comments:
Post a Comment