20.1.09 Rudi Hartono
Kota Bire, sebuah daerah di Lebanon Utara, terdapat sebuah nama jalan yang bernama "Hugo Chaves Frias", nama presiden Venezuela yang baru saja menendang keluar duta besar Israel sebagai bentuk solidaritasnya terhadap penduduk Gaza. Bahkan, penduduk kota itu memasang poster, menulis di tembok-tembok, bahkan banyak yang menamai anaknya baru lahir dengan nama "Chavez", karena keberanian presiden sosialis ini mengutuk Imperialisme AS dan Israel. Pada tahun 2006, sosok Chaves sudah dielu-elukan Syeh Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezboullah, sebagai tipe pemimpin yang berani dan disegani dunia islam.
Bukan itu saja, gelombang demonstrasi di berbagai pelosok timur tengah, setelah menunaikan Sholat Jum'at, membawa poster-poster Hugo Chaves yang disandingkan dengan pemimpin Hezboullah, Hassan Nasrallah, dan symbol-simbol Hamas. Deputi kementerian luar negeri Hamas sendiri sudah mengirimkan surat kepada presiden Chaves atas komitmennya yang tinggi kepada kemanusiaan, sesuatu yang tak dimiliki pemerintahan di dunia Arab. Tindakan Chaves dan rakyat Venezuela, yang kemudian juga dilakukan Mauritania, telah melambungkan politiknya sebagai "pahlawan Palestina".
Politik Pemimpin Arab
Secara umum, pendirian politik pemimpin Arab sebenarnya cukup beragam, tetapi mereka dipersatukan oleh keadaan bahwa mereka begitu loyal kepada AS. Setelah kejatuhan Saddam Husein, boleh dikatakan tidak ada lagi pemimpin Arab yang berani berseberangan dengan politik AS. Hanya Iran dan pemimpinnya Ahmadinejad sebagai pengecualian terhadap kesimpulan diatas.
AS punya kepentingan besar untung mengontrol timur tengah. Terutama dalam mengontrol politik minyak Negara-negara Arab agar patuh pada kebutuhan AS. Dalam sekejap, AS akan bereaksi terhadap kemunculan rejim-rejim nasionalis yang mengganjal kepentingannya, seperti yang ditunjukkan kepada Saddam Husein, dan kini kepada Ahmadinejad.
Menurut Gilbert Achcar, AS berada dibalik agresi AS ke Gaza. Hamas merupakan sekutu potensial bagi Iran, selain Hisboullah di Lebanon. Beberapa tahun terakhir, analisis pertahanan AS sudah menganggap bahwa Iran merupakan ancaman terhadap dominasi AS di timur tengah. Sehingga, segala macam cara ditempuh untuk mengisolasi Iran, dan sekaligus memberi contoh kepada pemimpin-pemimpin Arab yang berani "membandel". Kemenangan hamas sendiri bukan saja dimotivasi oleh sikap mereka yang tegas menentang pendudukan Israel, tetapi tapi karena program Hamas berupa pemerintahan yang jujur, efektif dan bersih, serta perbaikan layanan sosial (Alan Nasser). Di bawah Fatah, gaza merupakan salah satu teritori di Palestina yang menghambat neoliberalisme. Di Irak, perlawanan terhadap agresi AS masih berlansung sepanjang hari, bahkan pemerintahan boneka yang baru terbentuk tidak dapat mendapat legitimasi dari rakyat Irak.
Diluar Iran dan faksi atau group-group bersenjata yang terlahir karena intervensi imperialisme yang ganas, pada umumnya rejim-rejim yang berkuasa didukung oleh Imperialisme AS. Seperti yang disebutkan Tariq Ali, pertama kali AS mendukung rejim-rejim fundamentalis islam pada masa perang dingin, tujuannya memperlebar front melawan blok sosialis (Uni Sovyet). Monarki di Arab Saudi yang didirikan oleh kaum Wahabi sebetulnya didukung oleh AS. Demikian pula dengan rejim Husni Mubarak di Mesir, maupun rejim di Yordania, Syria, dan negeri-negeri arab lainnya. Bahkan Mesir sangat dipersalahkan karena menutup perbatasannya sepanjang 14 kilometer sehingga mempersulit bantuan masyarakat internasional masuk ke Gaza.
Liga Arab sendiri tidak bisa menutupi perseteruan interen anggotanya antara yang terbuka mendukung AS dengan yang bersikap moderat. Beberapa kali pertemuan Liga Arab mengalami pembatalan karena ketidakrukunan diantara mereka sendiri.
Keberanian Pemimpin Sosialis
Pemimpin Sosialis kini semakin menunjukkan pesonanya di mata dunia Islam. Dalam aksi menentang serbuan Israel ke Lebanon selatan di Gaza dan Ramallah, poster-poster Chaves bersanding dengan foto Arafat dan Che Guevara. Dalam surat terbuka Dr Ahmed Yousef, mantan penasihat politik Ismail Haniya, dijelaskan bagaimana penghargaan masyarakat Gaza dan Hamas atas keberanian Chaves dan konsistensinya dalam menantang imperialisme, termasuk Israel dan AS. Selain Chaves, Kuba dan Bolivia juga mengikuti langkah radikal Venezuela terhadap Israel. Kuba malah menuduh Israel telah melakukan genosida.
Ketika mengusir dubes Israel, Chaves mengungkapkan bahwa tindakan Israel menggempur Gaza adalah pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan salah satu bentuk "terorisme Negara". Chaves menuduh AS berada di belakang Israel, karena memang Israel merupakan sekutu strategis AS di kawasan timur tengah. Setiap tahunnya pemerintah AS memberi dana 4 milyar USD kepada Israel sebagai bantuan militer. Selain itu, Chaves menuntut supaya PM Israel, Ehud Omert, diseret ke mahkamah criminal internasional karena kejatahan kemanusiaan terhadap warga Palestina.
Mohammed al-Lahham, seorang pejabat dari fatah, mengatakan Chaves adalah symbol perjuangan untuk pembebasan, seperti Che Guevara. Ini membedakannya dengan presiden lain dari dunia manapun. "saya ingin memberikan Chaves paspor sehingga ia dapat menjadi warga Palestina. Kemudian kami memilih dia menjadi presiden Palestina," Mahmud Zwahreh, walikota Al-Masar, dekat kota Bethlehem.
Selain Chaves, Evo Morales juga menunjukkan sikap yang sama. Morales malah menyerukan untuk melakukan perombakan terhadap PBB, karena ketidakmampuan lembaga ini mengakhiri kebrutalan Israel.
Venezuela, Kuba, dan Bolivia sedang berada di garis depan perjuangan anti-imperialisme. Solidaritas terhadap Palestina, bagi pemerintahan sosialis, merupakan bagian dari strategi anti-imperialisme. Ketiga Negara yang disebutkan diatas juga sedang mengupayakan integrasi regional, dan penciptaan blok kerjasama baru berdasarkan kerjasama yang setara dan solidaritas. Di forum-forum internasional, ketiga Negara juga melancarkan kritikan keras terhadap dominasi AS dan system kapitalisme-neoliberalnya.
Konsekuensi
Agresi brutal Israel ke wilayah Gaza sekarang ini, maupun agresi militer AS ke Irak, telah memupuk sentimen anti-imperialisme di wilayah ini. beberapa kelompok perlawanan merasa dipersatukan oleh perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat dan kolonialisme Zionis di wilayah tersebut. Sikap diam dan kompromi sejumlah pemimpin Arab pada saat agresi Israel ke Lebanon, kemudian serangan brutal Israel kepada Hamas di Gaza, telah menanamkan kesadaran baru bahwa perjuangan melawan AS dan zionisme perlu dipararelkan dengan perjuangan menghadapi rejim lokal yang menjadi sekutu AS ( Arab Saudi, Mesir, Yordania, dll).
Timur tengah telah menjadi objek utama dari doktrin "perang permanent" Bush. Melalui perang terhadap terorisme, seperti juga diikuti oleh retorika pejabat Israel, penggunaan kekerasan militer berjalan pararel dengan kepentingan AS menjaga kepentingan bisnis dan korporasinya di luar sana. Timur tengah yang kaya raya itu, terus –menerus bergolak karena tangan-tangan imperialis yang hendak menundukkannya.
Kenyataan diatas telah melahirkan beberapa hal; pertama, bertemunya sentiment anti amerika, ataupun gagasan anti kolonialisme Zionis, dengan gagasan yang lebih progressif yaitu anti-imperialism. Beberapa kelompok perlawanan telah menggabungkan gagasan ini menjadi satu misi. Kedua, kejatuhan "pamor" rejim-rejim lokal di Arab, maupun organisasi-organisasi yang mengklaim kepentingan rakyat di Jasirah Arab, telah memupuk kesadaran rakyat di timur tengah untuk menerima ide-ide politik dari dunia di luar Arab. Sebagai missal, hampir seluruh dunia Arab kini memimpikan pemerintahan yang berani seperti Chaves, setelah menemukan pemerintah nasionalnya "takluk" kepada Israel. Ketiga, membanjirnya solidaritas yang dilakukan aktifis perdamaian, aktifis anti perang, maupun gerakan sosialis di berbagai belahan dunia, telah membuka mata masyarakat timur tengah bahwa tidak semua orang di barat (non-islam) membenci mereka. Perlakuan diskriminatif karena lemparan tuduhan sebagai teroris telah menjadikan masyarakat muslim mendapat perlakuan rasial.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kepentingan para mullah dan tuan tanah reaksioner yang selalu mendomplengi perjuangan anti amerika, ataupun perjuangan anti-imperialisme merupakan tantangan perjuangan rakyat di kawasan ini. Kekosongan partai revolusioner tentu menjadi kendala lahirnya sebuah perjuangan anti-imperialisme yang kuat dan konsisten di kawasan ini.
Rudi Hartono, Penulis adalah pengelola Jurnal Arah Kiri dan BERDIKARI online
Baca Selengkapnya! 15.1.09 Rudi Hartono
Hampir setiap jam, dalam ruang-ruang publik yang telah dikuasai media massa, iklan-iklan politik datang bergantian dengan iklam produk komersil. Hebatnya, iklan-iklan ini diyakini akan menyulap dukungan, ibarat iklan produk meraih kepercayaan seorang konsumen. Iklan politik semakin menggila takkala berbagai lembaga survey dan pemeringkat menyambut fenomena ini, dengan menciptakan grafik yang menggambarkan korelasi antara iklan politik, popularitas, dan peningkatan basis dukungan. Tak heran, dana yang digelontorkan partai ke iklan politik jauh lebih tinggi, misalnya, dibandingkan dengan dana operasional untuk membuat terbitan, booklet, ataupun material-material literer lainnya.
Demokrasi Liberal dan Pemasaran Politik
Dalam beberapa tahun terakhir, kosakata "liberal" makin akrab di telinga kita. Diskursus dan debat-debat mengenai sistim demokrasi menganut istilah "demokrasi liberal" untuk menjelaskan satu kutub dalam sistim demokrasi. Demokrasi liberal, meminjam pengertian Andrés Pérez Baltodano, merupakan sebuah kerangka atau mekanisme yang memastikan kekuasaan negara berjalan untuk menfasilitasi kepentingan segelintir elit (korporasi dan oligarki) dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal.
selain itu, di bawah neoliberalisme, sistim demokrasi juga mengakomodir pemilik korporasi, pejabat partai, dan korporasi untuk bertransaksi layaknya di pasar untuk memperdagangkan produk mereka, dimana rakyat diubah menjadi konsumen pasif yang harus tunduk pada hukum pasar. Sejak tahun 1980-an, seiring dengan ekspansi neoliberal, dikenal istilah "pemasaran politik", yakni kegiatan promosi guna menjual produk politik (political product). Dalam pemasaran politik , ada tiga hal yang dijual (baca; produk politik) yakni partai, kandidat, dan kebijakan (janji-janji politik). Pemasaran produk politik berjalan integral dengan aktifitas akumulasi profit; seorang kandidat akan menyerahkan sejumlah besar dana untuk pemasaran politik melalui saluran iklan politik (TV, radio, Koran, website, ponsel, dll), ataupun pembuatan/ mencetak poster, kartu nama, spanduk, baliho, dan sebagainya.
Di Indonesia, perkembangan pesat televisi swasta nasional telah menjangkau 80% penduduk, dan potensi viewers-nya berkisar 118 juta orang penduduk (Jurnal Sosial Demokrasi, edisi juli-september 2008). Tentu ini pasar yang menggiurkan bagi penjual produk politik. Tidak heran, seperti yang disebutkan dalam survey AC Nielsen, bahwa ada korelasi antara peningkatan belanja iklan dan peningkatan popularitas dan mengalirnya dukungan terhadap partai. Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November.
Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober).
Dengan belaja politik yang tinggi, mustahil seorang tukang becak dapat menjadi presiden. Kompetisi yang berbasiskan modal (capital), tentu tidak akan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok sosial, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk terlibat kontestasi politik. Padahal, secara teoritik politik merupakan arena bagi semua kelompok atau sektor sosial untuk memperjuangkan kepentingannya.
Kontestasi Ideologi
Di sisi lain, perkembangan demokrasi liberal dengan metode pemasaran politiknya tentu saja akan semakin memperkecil arena kontestasi ideologi, yang pada akhirnya akan menghilangkannya. Kontestasi ideologi tercermin pada debat soal program, visi, cita-cita perjuangan. Hal ini akan mendorong kristalisasi ide-ide kelompok masyarakat tentang cita-cita kolektif, yang tentu saja harus diperjuangkan dalam arena politik dan arena manapun; ekonomi dan budaya.
Di Indonesia, proyek depolitisasi era orde baru benar-benar menghapus partisipasi rakyat dalam politik, dan pada saat bersamaan menciptakan penyeragaman ideologi pada level politik.
Paska reformasi, yang ditandai dengan opensif neoliberal yang makin menggila, proses depolitisasi dijalankan pada tingkat institusionalisasi sistim demokrasi yang hanya membuka pintu bagi pemegang capital (modal), dan menutup pintu bagi partisipasi politik rakyat.
Dalam demokrasi liberal, tentu dengan metode pemasaran politiknya, sebuah partai atau politisi berusaha keras memunculkan "brand image" di mata konstituen, persis seperti pola korporasi menciptakan brand produk kepada konsumennya. Soal isi (program, visi, dan cita-cita) tidak menjadi penting, yang paling penting adalah bagaimana iklan ini menyentuh hati dan tersimpan dalam memori rakyat, setidaknya hingga pemilu.
Transformasi ini juga mengakhiri era ideologisasi di dalam partai; bentuk-bentuk pendidikan dan kursus kader mulai ditinggalkan. Partai disibukkan dengan kerja-kerja praktis untuk memenangkan pemasaran kandidat, dan lupa untuk memperkuat infrastruktur partai.
Rudi Hartono, Pengelola Jurnal Arah Kiri dan redaktur Berdikari online.
Baca Selengkapnya!
"Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia" (Multatuli) Kunjungi website http://www.arahkiri2009.blogspot.com
|
No comments:
Post a Comment