Komunalisme vs liberalisme
Minggu, 15 Maret 2009 di Senayan, lapangan bola di samping JCC. Di situlah
tempat kami biasa bermain gawang kecil dengan teman-teman alumni semasa SMU
dulu.
(SurauNet): Suasana pagi yang sejuk terasa lebih ramai dari biasanya.
Kami siap menyantap lontong Padang dan bubur champion yang dibawa Tasken dari
satu pojok jajanan di bilangan Benhil.
Katanya, di situ makanan yang dijual cukup variatif dan sedap.
Apakah itu bentuk promosi memajukan usaha 'urang awak' atau tidak (atau Tasken
ikut invest di salah satunya?), kami tak ambil pusing.
Kecuali Alcase Meyer, teman yang memang punya komitmen serius soal itu.
Kraak! Kruuk! Dgaaar! Sreeet!
Tiba-tiba terjadi keributan kecil dekat tempat kami menggelar piknik kecil. Para
pedagang asongan berlarian tunggang langgang.
Ada yang mengangkut dagangannya dipikul sambil berlari. Dan, ada pula yang
menyeret boks kayu beroda.
Mereka adalah pedagang asongan minuman yang mangkal di beberapa titik di sekitar
lapangan.
Dari kejauhan terlihat mobil pamongpraja bergerak memutari lapangan. Kami baru
paham apa yang tengah terjadi.
Singkat kata, meski telah mencoba menghindar sejauh mungkin, beberapa pedagang
asongan akhirnya terpojok di podium timur.
Terlihat, beberapa anggota polisi pamongpraja mengangkuti krak-krak minuman
milik pedagang asongan yang lagi apes.
Mungkin karena sudah sering ditayangkan di televisi, atau, memang sudah menjadi
pemandangan sehari-hari di banyak tempat di Jakarta, kejadian itu sepertinya
tidak terlalu mengganggu jalannya obrolan kami.
Terutama Tasken. Ia tetap asyik mempersoalkan siapa kira-kira calon pimpinan
tertinggi republik ini yang pantas mendapat dukungan pada pilpres mendatang.
Dan, serta-merta piknik itu berubah menjadi forum diskusi mini. Apalagi, selain
Tasken yang ikut hadir adalah Alcase, Edvic, Aprese dan Dermy yang doyan debat.
Menurut Tasken, tak ada salahnya figur keraton seperti Sri Sultan naik ke tampuk
kekuasaan.
Di matanya, Sri Sultan adalah panutan rakyat kecil. Ia melihat Sultan sebagai
tokoh yang dengan senang hati membagi-bagi kapling tanah kepada rakyatnya, di
Yogyakarta.
Tapi di mata Alcase, Sri Sultan tetaplah simbol paternalistik yang tak lepas
dari norma-norma aristokrat di mana rakyat masih diposisikan sebagai elemen
pengabdi, bukan sebaliknya.
Saya pribadi berpendapat, tak ada salahnya semua putra-putri terbaik bangsa
diberi kesempatan menduduki kursi RI satu, terlepas banyak yang suka atau tidak.
Rakyat sudah merasakan seperti apa pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus
Dur, Megawati dan SBY.
Tak ada ruginya mencoba seperti apa 'makan tangan' seorang sultan dari Jawa.
Dan bukan tak mungkin, suatu saat 'urang awak' pun bisa naik ke tampuk RI satu
itu, meski keluar dari kelaziman 'the second man.'
Sisi positif yang bisa saya tangkap dari seorang Sri Sultan saat ini adalah dia
berhasil mencitrakan dirinya sebagai tokoh moderat dan menghapus kesan raja-raja
Jawa identik dengan selir-selir dan berpoligami.
Dan seperti biasa, forum kecil kami akhirnya bubar tanpa perlu ada kesimpulan
apapun seiring bertambah teriknya panas mentari.
Namanya juga reuni kecil-kecilan, ikatan memorial tentunya jauh lebih kental
ketimbang primordial dan 'soksial.'
Keluar dari Senayan memutar arah menuju Semanggi, tiba-tiba saya teringat dengan
seorang sobat yang berjanji akan datang tapi ternyata berhalangan.
Namanya Aseyev Zamora, kini ia tengah menekuni usaha berdagang pakaian di
Tenabang.
Mumpung masih berada di kawasan berdekatan, kamipun menyempatkan diri mampir ke
tempat dia.
Ternyata, seiring bertambah macetnya jalur ke Tenabang dan semakin mahalnya
tempat usaha, Zamora kini mencoba berpaling dan melirik ke kawasan lain.
Sebagai solusinya, ia mensurvei beberapa pasar tradisional di bawah manajemen PD
Pasarjaya.
Syaratnya, lokasi pasar harus berjauhan dari supermall dan hypermarket.
Di mata Zamora, raksasa ritel adalah penyebab utama keterpurukan pasar
tradisional.
"Teman-teman kita ada punya beberapa kios kosong di Pasar Ciracas. Kalau mau
bisa kita lihat sekarang," tiba-tiba Alcase menyela.
Waktu menunjukkan pukul 11.20, saat yang 'nanggung' untuk berangkat. Apalagi,
kalau tokoh balik layar berhaluan fundamental seperti Alcase yang disiplin
menjaga waktu shalat, ada bersama kami.
Di antara teman-teman, saya melihat Alcase sebagai 'orang senang.' Senang bukan
dalam arti harta benda.
Melainkan, cara dia memaksimalkan ketersediaan waktunya untuk hal-hal yang serba
komunal mulai dari main batu domino (gaple Padang) hingga mengurusi paguyuban
dan membantu bisnis kawan-kawan.
Kaliber yang langka. Apalagi, di tengah hiruk-pikuk ibukota yang serba 'sabodo
teuing' dan 'emang gue pikirin.'
Bukan karena saya berhubungan cukup dekat dengan dia. Atau, bukan karena duitnya
pernah saya sambit buat modal usaha dan ternyata macet. Bukan!
Memang, sejak ditunjuk oleh warga kampung Kasang sebagai ketua organisasi di
rantau, komitmen Alcase kepada 'urang-awak incorporated' semakin kental.
Mau makan? Cari restoran Padang milik orang Kasang. Mau beli pakaian? Pergi ke
toko pakaian milik orang Kasang.
Kasang adalah nama sebuah kampung di utara kota Padang, berdekatan dengan
bandara Minangkabau dan kini masuk dalam wilayah kecamatan Koto Tengah.
Semasa sekolah dulu, kami sering menyebut daerah itu sebagai 'Padang coret' atau
'Pariaman murtad.'
Mentalitas yang ditunjukkan oleh pengusaha karet industri dan konveyor itu mirip
dengan Korean atau Japan incorporated.
Saya ingat, topik yang mirip pernah diulas Rizal Ramli di tempat bekerja saya
dulu di sebuah harian ekonomi di Jakarta.
(Bagi saya, wacana terbaik yang pernah diusung Rizal saat ini adalah bahwa kita
tak akan pernah bisa memenjarakan pikiran-pikiran seseorang).
Konon, meski lebih mahal atau lebih jelek, orang Jepang cenderung memilih produk
Jepang, naik airline Jepang, tinggal di hotel Jepang dan berkantor di gedung
yang asetnya dimiliki orang Jepang, dan tentu saja vendor kalau bisa juga orang
Jepang.
Sambil menunggu azan dzuhur, topik komunalisme kami tetap berlanjut. Tiga gelas
teh manis plus tiga gelas jus jeruk ludes tanpa sadar.
Kamipun sempat membahas stiker-stiker para caleg yang ditempel di dinding rumah
mertua Zamora, berikut jargon-jargon manisnya.
Ironis, pikir saya. Dulu, tiap slogan sering dipandang sebagai 'jargon-jargon
Orde Baru.'
Tapi kini, jargon yang mereka pakai jauh lebih dahsyat. Seperti kata
orang-orang, "Too good to be true." Atau, "Kok pada pede amat sih ya?."
Mungkin (dan agaknya begitu) kami lebih menghargai jargon teman alumni kami,
Dyer Aspay yang pernah menulis di milis, "Don't be delicious for us only,
button!"
Dan untuk yang seperti itu, jawabnya hanya satu, "Your mother is for you."
Setidaknya, slogan teman itu benar-benar berhasil membuat kami tertawa
terpingkal-pingkal.
Sampai ketika menulis inipun, saya masih 'termehek-mehek.
Bandingkan dengan slogan-slogan para caleg yang mengundang cibiran di tengah
publik yang makin kritis, meski perut tetap kembang kempis.
Dari stiker-stiker caleg dan bendera-bendera partai yang berjejer di rumah-rumah
penduduk itu, kami sadar bahwa negara ini sudah pantas dijuluki 'Republic
Election.'
Bagaimana tidak, hampir tiap dua hari terjadi pemilihan di Tanah Air, mulai dari
pemilu legislatif, pilpres hingga ke pilkada-pilkada di daerah-daerah.
Apakah betul ini pertanda bahwa kita semakin hari semakin kurang kerjaan? Tak
adakah urusan duniawi selain yang terkait pemilu (pemilihan melulu)?
Sebuah pemborosan yang luar biasa untuk sebuah demokrasi yang juga 'ruaarrr
biasa.'
Mungkin, pada majelis hari esok, kita berharap paket UU politik bisa lebih
disederhanakan.
"Makanya jangan golput dong," sela Alcase begitu melihat celah untuk meyakinkan
saya bahwa masih banyak caleg-caleg yang beriman tebal meski bukan berkantong
tebal.
Singkat cerita, usai dzuhur di masjid setempat, kamipun berangkat. Tak jauh
setelah keluar dari pemukiman, Zamora berhenti di sebuah rumah makan Padang.
Tiba-tiba saya teringat restoran favorit Alcase yang tak jauh dari situ. Saya
pernah coba, lumayan enak.
Rupanya, restoran itu favorit karena pemiliknya orang kampung Kasang!. Persoalan
enak atau tidak, urusan belakangan. Incorporated is numero uno.
Singkat cerita, kami sampai di Pasar Ciracas menjelang sore.
Setelah mutar-mutar sejenak, tanya sana-sini, harga sewa atau beli, kamipun
terhenyak duduk, lagi-lagi di rumah makan Padang, namanya jangan kaget, "RM
Kasang Saiyo."
Pembicaraan kami kembali berlanjut, kali ini merembes kepada kompetisi para
purnawirawan jenderal yakni Wiranto dari Partai Hanura dan Prabowo dari Partai
Gerindra.
Setelah beberapa saat, Alcase mengeluarkan kamera saku digital yang selalu dia
jinjing kalau ada event penting seperti silaturahmi.
Ia menunjukkan foto duduk bersama Prabowo di ruang tunggu bandara tatkala hendak
bersiap balik dari Hong Kong ke Jakarta.
Sempat berkenalan dengan seorang figur yang cukup dikenal, Alcase betah
lama-lama. Apalagi, ngobrol dengan mantan komandan Baret Merah itu, mungkin
kesempatan yang bakal langka.
Saya terus mencecar keterangan dari dia untuk mencari tahu seperti apa 'person'
di balik putra bengawan ekonomi itu.
Menurut Alcase, dari obrolan satu jam itu, Prabowo terkesan sangat serius dengan
komitmennya memajukan kembali pasar tradisional.
Dan bagi penganut paham komunal seperti Alcase Meyer dan Aseyev Zamora, komitmen
seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menentukan kepada siapa mereka akan
memberikan dukungan nantinya.
Bagi mereka, hati nurani hanya bermula dari pasar tradisional. Titik!
Dan, bagi saya, demokrasi hanyalah salah satu bentuk dari liberalisme. Akankah
dari liberalisme semacam itu bisa lahir kekuasaan yang mengakarkan diri pada
komunalisme?
Kalau itu terjadi, akankah ia menjadi 'hari kemerdekaan' bagi para pedagang
asongan dan kaki lima yang kian hari terus tersudut oleh ekspansi modal dan
ruang perkotaan?
Dan, apakah kita masih lebih mendewakan pernak-pernik barang daripada
nyawa-nyawa orang?
Kita tunggu saja. Sembari, merenungkan kutipan dari Cak Nur, "Wacana terbaik
pastilah menang."
Orang kampung Kasang akan bilang, "The best ideas shall win."
selengkapnya:
http://www.surau.
Ahli group yang sentiasa menghantar email berkenaan politik sahaja akan disiarkan emailnya tanpa penapisan moderator group.
Email yang disiarkan dipertanggungjawabkan kepada pengirim email tersebut dimana moderator dan group tidak boleh dipertanggungjawabkan.
=============================================
Link List:
Lirik Lagu Popular - http://www.lirikpopular.com
Spa Q - http://spa-q.blogspot.com
Auto Insurance - http://pdautoinsurance.blogspot.com
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
No comments:
Post a Comment