20080912

Dunia-Politik.blogspot.com - Digest Number 1670

Messages In This Digest (1 Message)

Message

1.

Terbaru di Jurnal Arah-KIRI|Berjuang untuk Mewujudkan Indonesia Baru

Posted by: "Rudi Hartono" arahkiri2009@yahoo.com   arahkiri2009

Fri Sep 12, 2008 1:42 am (PDT)



Menyikapi
Partai Yang Hanya Bisa Menjual "Mimpi"  

12.9.08

Oleh: RUDI HARTONO

Perhelatan pemilu 2009 akan ramai, bukan saja ramai dengan jumlah parpol yang
akan bertarung, tetapi juga akan ramai dengan janji-janji politik yang siap dimuntahkan
dari mulut politisi dan partainya. Tentuk hal itu tidak menjadi masalah,
seandainya janji-janji politik dapat diaplikasikan dalam praktek politik
kemudian. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ketidaksesuaian antara
janji-janji kampanye dengan praktek politik. Dalam pemilu 2009, setiap politisi
dan partai harus waspada; setidaknya beberapa sinyalemen menunjukkan
kemerosotan kepercayaan rakyat terhadap terhadap partai dan politisi,
setidaknya dikalangan pemilih berusia muda. Hal itu begitu nyata dari
pengalaman Golput yang jumlahnya cukup signifikan di berbagai pilkada di
daerah.

Keruwetan problem yang menjerat bangsa ini, demikian pula merajalelanya
ketidakpuasan massa rakyat atas
situasi ekonomi dan politik sekarang, menawarkan kepada beberapa partai untuk
memberikan "janji-janji politik". Terkadang janji-janji tersebut begitu luhur,
sehingga tidak sebanding dengan kenyataan partainya. Disinilah letak masalanya;
bukannya janji-janji politik tersebut memberikan perubahan nyata, malahan menjadi
"mimpi-mimpi" membosankan bagi rakyat miskin karena tak pernah teruji
prakteknya.

Motivasi di Balik Janji Politik

Ketika problem kemandirian nasional terungkap menjadi
masalah pokok ketahanan nasional, termasuk ketahanan di bidang ekonomi,
beberapa partai-politik berlomba-lomba unjuk kekuatan sebagai kekuatan yang
paling pro-kemandirian. Ketika kemiskinan menjadi problem paling mendasar dan
menjadi kesulitan terbesar lebih dari separuh rakyat negeri ini, beberapa
partai mendemonstrasikan retorika anti kemiskinan, layaknya iklam produk
komersil di layar TV. Hal ini menjadi masalah pula dalam pilkada di beberapa
daerah; ketika isu pendidikan dan kesehatan gratis berhasil memupuk suara
pemilih, maka berlomba-lombalah para calon kepala daerah ini memprogramkan
pendidikan dan kesehatan gratis. Masalah serius muncul ketika politisi berhasil
merebut tampuk kekuasaan, janji pendidikan dan gratis malah tidak
diimplementasikan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan keleluasaan partai
dan politisi mengumbar janji, termasuk kemudahan berganti baju dan posisi
politik. Diantaranya; pertama, ketiadaan atau kekosongan ideology dalam tradisi
partai politik di Indonesia. Sehingga partai tak memiliki pijakan dan arah yang
menuntun langkah politik para politisi dan partai dalam memenuhi cita-cita
kolektif rakyat. Yang menjadi faktor pembimbingnya adalah kekuasaan. Dengan
kekuasaan, seorang politisi akan dengan mudah merealisasikan tujuan-tujuan
pribadinya; mengumpulkan harta, status dan keistimewaan social, kepuasan seksual,
dan lain sebagainya. Kedua, tipe demokrasi di Indonesia yang belum melahirkan
instrument kekuasaan rakyat yang memungkinkan kontrol terhadap janji-janji
politik elit-politisi belum ada. Ketiga, kebudayaan sebagai faktor pembentuk
mental masih dipengaruhi oleh feodalisme (patron-klien, primordialism,
patronase), sehingga cenderung memaafkan kesalahan-kesalahan elit dan politisi.

Kesesuaian Janji Kampanye dengan Praktek Kekuasaan

Beberapa kelompok masyarakat, terutama gerakan social dan
mahasiswa, mulai menyodorkan model-model "kontrak politik" dan kesepakatan
dalam bentuk MoU dengan calon legislator, ataupun partai politik. Meskipun
demikian, cara-cara semacam itu masih terkadang tak sanggup menarik penguasa,
politisi, dan partai memenuhi janjinya ketika berkuasa. Penyebabnya, kontrak
politik terkadang dibuat sepihak, tertutup, dan tak diketahui oleh massa luas.
Sehingga faktor mobilisasi massa, baik pada saat pembuatan kesepakatan politik
maupun pada saat penagihan, menjadi faktor yang cukup penting.

Selain itu, harus diupayakan pembangunan institusi
kekuasaan dari bawah, yang memungkinkan rakyat memberikan kontrol terhadap
kekuasaan. Model-model demokrasi partisipatif, atau bentuk-bentuk
pengorganisasi komunitas akan menjadi instrument kekuasaan dari bawah. Jika
politisi dan partai yang membangun kekuasaan tidak tanggap terhadap tuntutan
dari bawah, terutama menyoal janji-janji politiknya, maka kekuasaan politisi
dan partai yang berada pada krisis legitimasi, dan akan terus membusuk.
Kekuasaan tidak akan efektif berjalan tanpa dukungan rakyat luas.

Gerakan social-radikal, partai-partai politik kerakyatan,
serikat buruh, dan organisasi-organisasi komunitas, yang memiliki pijakan
ideology yang lebih jelas, harus memikirkan cara-cara mengambil peran besar
dalam system politik sekarang. Eksistensi kelompok ini, akan menjadi
pengelompokan "ideologis" yang akan mewarnai politik dan menggusur tradisi lama
secara perlahan. Karena cukup penting bagi organisasi-organisasi tersebut,
sebelum berbicara kekuasaan, harus memupuk dukungan dari seluruh sektor rakyat,
golongan, dan lapisan social—terutama menengah dan bawah.

Penulis adalah Peneliti di LPMIS, dan pemimpin Redaksi
Media Berdikari Online.

Baca
Selengkapnya!

Kesepakatan
Tuntutan Minimum Kongkrit Anti-Neoliberal Dalam Perjuangan Elektoral; Sebuah
Sumbangan Pemikiran Untuk Pembangunan Persatuan Pro-Rakyat  

Oleh: Data Brainanta

Staaf HI DPP Papernas

Belakangan ini berlangsung suatu perdebatan yang cukup menarik dalam milis
Indoprogress. (1) Menarik; karena diskusi ini, yang mulanya hendak dibelokkan
untuk menyudutkan partai tertentu, kemudian - berkat pendiskusi lainnya - dapat
berkembang menjadi pembicaraan yang lebih luas dan membangun tentang strategi
pemilu dan permasalahan bangsa yang sesungguhnya.

Kedua hal ini berkaitan erat. Sangatlah sukar, kalau bukan mustahil, untuk
menentukan strategi elektoral atau parlementer yang efektif tanpa suatu diskusi
yang mendalam tentang permasalahan bangsa dan jalan keluar apa yang harus
pertama-tama ditempuh untuk mengatasinya. (2) Tulisan ini akan membahas hal-hal
tersebut sambil menawarkan suatu ide persatuan yang dilandasi oleh tuntutan
minimum kongkrit, yang diperjuangkan dalam parlemen, dan perlu secara paralel
didukung dari luar parlemen. Selain itu akan coba dibahas juga secara ringkas
persoalan-persoalan teoretik yang terangkat dalam diskusi tersebut, seperti
yang menyangkut definisi neoliberalisme dan imperialisme; relevansi
nasionalisme; permasalahan anti-kapitalisme; dan posisi pengusaha (borjuasi)
nasional dalam perjuangan kedaulatan nasional.

Orientasi Diskusi: Praktek Aktif atau Pengamat Pasif?

Persoalan-persoalan di atas sangat penting dijadikan
bahan diskusi oleh kaum pergerakan di Indonesia. Tanpa diskusi yang konstruktif
dalam hal teori dan strategi tidaklah heran bila sangat sukar tercapai
kesepakatan atau keselerasan gerak di antara unsur-unsur pro- rakyat, walaupun
ada kehendak untuk bersatu. Diskusi seperti itu mungkin tidak dapat begitu saja
meruntuhkan dinding perbedaan dan keragaman pandangan masing-masing kelompok,
tapi setidaknya membuka jalan untuk menemukan kesamaan yang bisa dijadikan
titik tolak bagi kerjasama lebih jauh. Begitu juga, perbedaan yang ada dapat
diperjelas dan diurai sehingga terlihat mana yang bersifat mendasar, sekunder,
atau bahkan sekedar prasangka yang tak berdasar.Oleh karena itu diskusi yang
berorientasi pengamat pasif tidak banyak memberikan manfaat. Contohnya dalam
hal koalisi pemilu, tidak banyak manfaat dari sekedar mencari-cari kecacatan
partai dan aktor politik di masa lalu. Ini adalah semangat seorang komentator
sepakbola, yang membicarakan suatu pertandingan dengan hanya melihat rekam
jejak kedua tim dan pemain-pemain yang bertanding. Sebaik apapun seorang
komentator sepakbola, ia tidak sebiji sawi pun berperan dalam kemenangan salah
satu tim.

Bagaimana sudut pandang seperti ini bisa menjelaskan
pertanyaan seperti partai mana yang (walaupun 'busuk') paling mungkin untuk
didorong ke arah kiri? Atau apa yang membuat partai oposisi loyal berkoalisi
dengan pendukung utama musuhnya? Konsep historis bukan diterapkan dengan
sekedar melihat rekam jejak suatu subyek untuk

dikotak-kotakkan ke dalam kategori, tapi memahami arah
pergeseran dengan melihat kontradiksi- kontradiksi yang ada di dalam subyek
tersebut, sambil memperhitungkan praktek apa yang bisa dilakukan untuk
mempengaruhinya.

Seorang aktivis atau tiap warga negara yang peduli nasib
bangsa dan berkesadaran politik seharusnya melakukan diskusi yang lebih
berorientasi praktek aktif dan bersifat konstruktif, karena ia dapat turut
menjadi aktor politik dan agen perubahan. Apalagi dalam hal pemilu yang
merupakan suatu momentum bukaan - walaupun sangat terbatas - bagi partisipasi
legal rakyat dalam menentukan pemerintahan. Yang saya tekankan di sini bukan sekedar
kesempatan mencoblos, tapi juga berkampanye.

Untuk merespon kesempatan seperti ini tidak bisa sekedar
mempertanyakan partai mana yang terbaik dan mesti dicoblos - tapi perlu
membahas hal-hal yang lebih berorientasi praktek (praktis) seperti program-program
apa yang perlu diperjuangkan dalam pemilu, dan bagaimana mengubah perimbangan
kekuatan agar menguntungkan unsur- unsur pro-rakyat dalam organisasi, partai,
bahkan parlemen dan pemerintahan, dari tingkat terendah, lokal hingga nasional.
Dengan sudut pandang seperti ini, penilaian yang ada akan lebih kaya dan
berguna dalam menentukan cara-cara mengintervensi keadaan. Hal ini menurut saya
perlu disampaikan mengingat beberapa - kalau bukan semua - peserta diskusi juga
merupakan aktivis yang bertujuan melaksanakan pendidikan politik dan mobilisasi
rakyat.

Perbedaan prioritas: persatuan gerakan atau persatuan
oposisi (3)

Diskusi bisa dibilang bergulir dari perdebatan tentang
interpretasi pemikiran Marta Harnecker antara saya dan Zely Ariane. Tulisan- tulisan
Harnecker sesungguhnya secara spesifik menyarikan pelajaran dari pengalaman
gerakan kiri di Amerika Latin dan ditujukan kepada pergerakan di wilayah
tersebut. Namun saya - dan sepertinya juga Kawan Zely - meyakini bahwa banyak
hal dari pemikiran Harnecker yang bisa dijadikan inspirasi bagi gerakan di
Indonesia. Oleh karena itu diskusi di bawah akan lebih bertumpu pada pembahasan
strategi pergerakan di Indonesia, tepatnya dalam menghadapi pemilu 2009, dengan
banyak mengacu pada pemikiran Harnecker.

Perbedaan mendasar antara kedua interpretasi kami menurut
saya terletak pada persoalan tentang apa yang menjadi prioritas dalam
pembangunan kekuatan politik alternatif. Kawan Zely menomorsatukan
"penyatuan gerakan" dan "meletakkannya sebagai pekerjaan yang UTAMA
dan strategis." Kerja "penyatuan gerakan" ini sepertinya
ditujukan untuk membentuk suatu partai alternatif yang bisa menjadi peserta
pemilu. Sementara untuk pemilu 2009, organisasi Kawan Zely, KPRM-PRD, belum
sempat menjalankan strategi ini dengan sepenuhnya sehingga tidak turut
berkompetisi. Sepertinya mereka juga sedang berupaya mentransformasi gerakan
tidak-memilih/ golput menjadi suatu gerakan politik. Detailnya seperti apa,
masih dinantikan penjabarannya.

Barangkali bisa disimpulkan bahwa bagi Kawan Zely
pembangunan kekuatan alternatif tersebut harus berjalan sesuai tahapan berikut:
persatuan gerakan, pembangunan partai alternatif, kemudian intervensi elektoral
dengan menggunakan partai alternatif itu.

Interpretasi saya menekankan bahwa hubungan antara
persatuan gerakan dan pembangunan alat politik alternatif - menurut bahasa
Harnecker: blok sosial alternatif anti-neoliberal - tidak harus terjadi secara
bertahap, melainkan saling mempengaruhi atau dialektis. Persatuan gerakan harus
dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni pembangunan blok sosial tersebut,
yang bentuknya kurang lebih berupa koalisi oposisi yang lebar. Unsur-unsur
gerakan yang bersatu atau terkoordinasi dalam koalisi ini berperan menjadi
perekat sekaligus poros strategis (core) yang akan menjaga agar koalisi
tersebut tetap berjalan di rel pro-rakyat.

Oleh karena itu memang benar bahwa persatuan gerakan
harus menjadi jalan pertama yang ditempuh. Namun bila hal ini tidak tercapai,
terdapat jalan lain yang bisa ditempuh, yakni memperlebar pembangunan koalisi
dengan merangkul kekuatan politik lain di luar pergerakan. Sebaliknya, dengan
membangun koalisi lewat jalan 'samping' ini pun kaum pergerakan dapat keluar
dari keterpinggirannya dan membuka panggung bagi tuntutan atau program alternatif,
sehingga menciptakan wadah perjuangan baru bagi konvergensi kaum pergerakan dan
unsur- unsur pro-rakyat.

Dalam diskusi, saya mengambil contoh Kuba dan Venezuela
untuk menunjukkan bahwa pembangunan kekuatan politik alternatif tidak selalu
lurus, tapi sering kali berbelok-belok, dan dalam beberapa kasus pada awalnya
dapat menghindari kesulitan-kesulitan penyatuan gerakan kiri dengan bekerjasama
dengan unsur lainnya. Fidel Castro memulai aktivisme politiknya dengan
bergabung dengan Partai oposisi Ortodoxos dan pimpinan karismatiknya, Raul
Chibas, yang reformis tapi menentang kekuasaan Batista. Di kemudian hari Fidel
menyatakan bahwa ia mengambil jarak dengan kaum kiri, Partai Sosialis
Kerakyatan (PSP), karena mereka terisolasi oleh kebijakan mereka yang mendukung
Batista dan atmosfir anti-sosialisme perang dingin. Ia hampir maju menjadi
anggota parlemen Ortodoxos untuk mengusung program-program radikal, namun
kudeta Batista membuyarkan rencana itu. Maka dimulailah fase perjuangan
bersenjata yang dipimpin oleh Fidel.(4) Sementara Chavez, sebagaimana
dikisahkannya sendiri dalam wawancara dengan Marta Harnecker,(5) mengalami
diskriminasi oleh partai dan gerakan kiri namun kemudian kembali berhasil
menggalang dukungan mereka setelah menggalang pendukungnya sendiri dalam MVR.

Yang sekarang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana
membangun blok sosial alternatif ini? Apa yang bisa menjamin bahwa koalisi ini
akan menjadi alat politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat?
Bagaimana agar mereka tidak terko-optasi oleh tekanan dan bujukan unsur-unsur
anti-rakyat, yang menguasai kedudukan dan sumber daya yang lebih besar?

Persatuan Melalui Kesepakatan Tuntutan (Program)
Minimum Kongkrit Yang Anti-Neoliberal

Selama ini beragam organisasi dan individu yang terlibat
dalam pergerakan di luar parlemen biasa membangun koalisi seputar isu-isu
tertentu. Yang paling terdengar akhir-akhir ini adalah koalisi menolak
kenaikkan harga BBM bulan Juni lalu. Sementara pada awal reformasi berkembang
beberapa koalisi yang diujung-tombaki mahasiswa dalam menuntut pencabutan
dwi-fungsi ABRI dan Paket 5 UU Politik. Dalam beberapa tahun terakhir kaum
buruh juga menunjukkan potensi kesatuan dan militansi tinggi dalam menentang UU
Ketenagakerjaan 13 yang semakin menancapkan kuku neo-liberalisme dalam bidang
perburuhan, di mana peran negara dalam mengatur kesejahteraan buruh dan
keberlangsungan industri semakin dipersempit. Dalam sektor rakyat lainnya,
terdapat juga pembangunan koalisi semacam itu. Kini sudah saatnya strategi
pembangunan koalisi menurut isu dan tuntutan yang kongkrit dijalankan juga
secara sungguh-sunguh dalam arena elektoral dan parlemen apalagi dengan semakin
banyaknya tokoh- tokoh aktivis pergerakan yang berkompetisi dalam pemilu 2009.
Politik parlemen seperti ini dapat menjadi suatu praktek alternatif yang
berorientasikan kepentingan rakyat, untuk menggantikan dan menyaingi praktek
politik lama yang tak berprinsip dan berorientasikan kepentingan pribadi dan
partai.

Melihat beberapa pengalaman di berbagai negeri, isu yang
menyatukan dan memperkuat konvergensi politik alternatif sangatlah beragam,
tergantung dari permasalahan yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Di
Bolivia, contohnya, di mana secara historis sentimen anti-asing sudah begitu
kuat dan meluas di antara kaum pergerakan yang radikal dan massif, tuntutan
nasionalisasi migas dan tambang - yang cukup maju karena secara langsung
menyerang kepentingan kaum imperialis - menjadi penyatu bagi koalisi yang
memenangkan presiden berhaluan kiri Evo Morales. Di Venezuela, salah satu
faktor penentu kemenangan Chavez pada 1998 adalah kekonsistenannya
memperjuangkan majelis konstituante, yang merupakan perombakan besar-besaran
terhadap kekuatan politik lama (Kekuasaan Partai AD dan Copei) yang terbukti tak
mampu membendung arus kebijakan neoliberalisme. Di Nepal pada tahun ini,
kepemimpinan politik Partai Komunis Nepal secara program ditunjukkan dengan
kekonsistenannya untuk membubarkan monarki dan mendirikan republik.(6)

Merumuskan tuntutan-tuntutan semacam itu adalah tantangan
bagi kaum pergerakan Indonesia yang bertarung di dalam maupun di luar arena
elektoral. Namun hendaknya landasan programatik atau tuntutan bersama yang
menjadi perekat koalisi lebar ini dirumuskan dengan tujuan utama merangkul kawan
sebanyak-banyaknya, untuk menciptakan perimbangan kekuatan yang lebih baik bagi
kekuatan pro rakyat, bukan untuk hal- hal seperti 'memimpin isu' dan
semacamnya. Untuk itu diperlukan perumusan tuntutan yang realistis, terjangkau,
dan konstitusional; yang pelaksanaannya dihalangi hanya karena tidak adanya
inisiatif pemerintah; yang berada dalam imajinasi rakyat, bukan sekedar
imajinasi intelektual; pendeknya yang minimum dan kongkrit, bukan maksimum dan
abstrak; dan yang penting - sekali lagi - dapat menggalang koalisi oposisi
lebar.

Tuntutan semacam itu bukan saja harus berhubungan dengan
perbaikan kondisi rakyat, tapi harus ditujukan kepada titik kelemahan musuh -
bukan yang sampingan - yang dapat membuka ruang bagi serangan- serangan lebih
lanjut. Misalnya, dalam tujuan strategis mengembalikan penguasaan kekayaan alam
ke tangan rakyat, pertama-tama harus ditentukan sasaran dan tujuan taktis yang
harus dihadapi. Satu contoh sasaran taktis yang merupakan salah satu pertahanan
musuh adalah UU Migas. Pukulan awal ke sasaran taktis di depan mata seperti ini
memberikan kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mengarahkan tinju jauh ke dalam pertahanan lawan yang mendapat pengawalan berat
seperti contohnya, menyerukan nasionalisasi berupa penyitaan perusahaan tambang
asing. Dan yang terpenting, misi taktis seperti ini memberikan kesempatan lebih
besar bagi pembangunan koalisi yang lebar di dalam maupun di luar parlemen.
Sementara keberhasilannya akan membuka jalan menuju tujuan strategis yang lebih
besar.

Maka beberapa tuntutan yang terlampau 'canggih' seperti
sosialisme dan kontrol buruh, atau yang 'tinggi dan tergolong maksimum' seperti
pendidikan-kesehata n gratis untuk sementara perlu disimpan dan dijabarkan
menjadi tahap-tahapan. Begitupun isu-isu yang relatif abstrak seperti
anti-korupsi dan demokratisasi. Tuntutan nasionalisasi pun menurut saya perlu
dijabarkan menjadi langkah- langkah kongkrit dan konstitusional menuju tujuan
tersebut, seperti pencabutan atau amandemen UU Migas no 22. Kerja-kerja
kampanye tuntutan minimum ini harus dimulai sesegera mungkin, dimulai dari saat
ini, dalam masa kampanye.

Tentunya ini bukan berarti meninggalkan atau berhenti
mengkampanyekan tuntutan-tuntutan yang lebih maju. Kerja-kerja ini justru harus
ditingkatkan untuk menjelaskan posisi program minimum dalam tujuan besarnya.
Program-program minimum yang saya maksudkan adalah suatu cara yang dengan
sengaja memoderasi tuntutan untuk menggalang sekutu dalam koalisi yang lebar.
Ada benarnya apa yang dikatakan Kawan Zely bahwa dalam masa kampanye tidak ada
partai yang tidak bernada kerakyatan. Maka tantangan kaum pergerakan dalam
arena pemilu adalah mengusung sentimen kerakyatan ini setinggi-tingginya sambil
menerjemahkannya menjadi program atau tuntutan kongkrit, yang bisa dijadikan
tolak ukur dalam menilai para aktor-aktor politik di pemerintahan.

Dalam diskusi di milis Indoprogress, Pius Tumangger
menggunakan metafora menunggangi kuda liar untuk menggambarkan aktor-aktor
politik pergerakan yang berkoalisi atau bergabung dengan partai- partai yang
telah lolos pemilu. Tentunya yang kembali ia sorot di sini adalah Papernas dan
PBR. "Dengan konsekuensi taktik tersebut, kenalilah dengan baik kuda liar
itu. Siapkan kekang sebaik-baiknya agar jalannya bisa lurus ke depan menarik
rakyat keluar penderitaan" demikian saran Kawan Pius.

Tuntutan minimum kongkrit inilah yang dapat menjadi
kekang tersebut. Dan kekang tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab para
aktivis pergerakan yang bertarung di arena pemilu atau parlemen, tapi juga
mereka yang berjuang di jalanan. Keduanya harus terlibat dalam merumuskan,
mengangkat dan memperjuangkan tuntutan tersebut. Tanpa keduanya berjalan
sinergis maka gerakan akan berjalan pincang. Kini pertanyaannya adalah apa
batas minimum tuntutan bersama tersebut, agar masih dapat dipandang rakyat
sebagai alternatif?

Dari Kroniisme ke Neoliberalisme

Pengalaman Amerika Latin sebagaimana disimpulkan oleh
Harnecker dan Ellner menunjukkan bahwa pembendungan atau perlawanan terhadap
bencana sosial yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal merupakan hal yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh kekuatan politik alternatif - dengan begitu
merupakan acuan bagi tuntutan minimum di wilayah tersebut. Di antara kalangan
pergerakan, bisa dibilang sudah diakui bahwa neoliberalisme merupakan
permasalahan bangsa Indonesia. Perbedaan terletak pada bagaimana mencari jalan
keluarnya. Untuk ini perlu dilihat lebih jauh tentang kekhususan dan keumuman
neoliberalisme di Indonesia.

Perpolitikan Indonesia saat ini merupakan suatu bangunan
yang didirikan - dan masih dibangun - dari puing-puing sistem otoriter Orde
Baru yang sebagian besar dirubuhkan oleh gerakan reformasi. Namun dalam
prosesnya pendirian bangunan baru yang lebih terbuka dibandingkan jaman Suharto
ini tak bisa lepas dari unsur-unsur Orde Baru, karena kegagalan tokoh-tokoh
reformasi dalam menawarkan alternatif yang lebih baik maupun oleh karena
keterpinggiran gerakan pro-rakyat dari politik pemerintahan. Dalam bidang
ekonomi, terjadi pergeseran dari sistem kapitalisme kroni Orde Baru yang
dilindungi oleh kebijakan protektif dan perencanaan pemerintah menjadi sistem
kapitalisme neoliberal yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan penghapusan
berbagai kewajiban sosial pemerintah. Sejak dibukanya ruang demokrasi oleh
gerakan reformasi, rakyat Indonesia telah menyaksikan berbagai manuver politik
berupa koalisi antara partai, kelompok gerakan, dan tokoh-tokoh politik. Segera
setelah pemilu '99 kita menyaksikan manuver-manuver mencengangkan dalam Sidang
MPR di mana elit politik reformasi saling jegal menjegal - Gus Dur dan Amien
Rais menjegal Mega dan tak sampai dua tahun kemudian giliran Gus Dur yang
dijegal oleh keduanya.

Kekuatan Orde Baru sendiri, Golkar, diuntungkan oleh
perseteruan ini dan ketidakmampuan pemerintah berkuasa dalam menahan laju
pemiskinan.Hasilnya pemilu 2004 menghadiahkan rakyat Indonesia seorang Presiden
yang berasal dari militer dan Wapres yang berasal dari Golkar - keduanya
merupakan unsur yang di awal reformasi dianggap sebagai pilar Orde Baru yang
jadi sasaran politik untuk diruntuhkan. Namun

kali ini mereka telah beradaptasi untuk melayani tuannya
yang baru: bukan lagi sistem kroni yang berpusat pada Suharto, melainkan
kepentingan investasi yang menghendaki eksploitasi sumber daya alam dan manusia
nusantara se-ekonomis mungkin. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengabdi
kepada tujuan ini biasa dikenal dengan sebutan neoliberalisme.

Dalam prakteknya, ini dilakukan dengan menekan
ketidakefisienan akibat KKN, menderegulasi pasar domestik dan memangkas peran
negara sebagai penyedia kesejahteraan rakyat, termasuk memprivatisasi
perusahaan negara. Secara sepintas kebijakan-kebijakan tersebut terdengar
positif dan menawarkan peningkatan 'efisiensi' atau 'profesionalitas',namun
dibalik itu terdapat agenda penguasaan ekonomi oleh kekuatan ekonomi besar
asing. Dengan dihapuskannya regulasi; komoditas-komoditas penting seperti
pangan, bahan bakar, maupun barang kebutuhan lainnya dapat dikendalikan oleh
kekuatan investasi besar yang, walaupun bersifat transnasional atau
internasional, sebagian besar berasal dari negeri-negeri maju seperti Eropa
Barat dan Amerika Utara.

Perusahaan transnasional yang mayoritas bermarkas di
negeri-negeri tersebut juga sangat diuntungkan karena dapat menguasai
pasar-pasar negeri dunia ketiga seperti Indonesia, yang telah menurunkan tarif
proteksinya. Padahal para transnasional itu dibesarkan dan hidup dalam pasar
domestik yang dilindungi dan diberikan hak istimewa oleh pemerintahan
negeri-negeri maju tersebut. Oleh karena itu wajarlah bila neoliberalisme di
Indonesia didorong oleh pihak asing. Institusi 'rentenir' internasional,
terutama IMF, adalah satu pelopor yang mendesakkan langkah-langkah pengetatan
ini pada saat Indonesia berkubang dalam krisis Asia akhir dekade lalu.

Begitupun dalam hal pemberantasan KKN yang secara konsep
menguntungkan seluruh rakyat. Dalam prakteknya, pemberantasannya mengecualikan
KKN yang dilakukan oleh pihak-pihak pro-neoliberal. Sesungguhnya, agenda
kepentingan neoliberal didesakkan dengan menggunakan kekuatan moneternya dalam
menyuap para anggota parlemen agar mensahkan RUU yang pro-neoliberal atau
menyetujui penunjukkan agen-agen pro-neoliberal dalam posisi strategis seperti
bank sentral dan institusi pemerintahan lainnya yang berhubungan dengan
perekonomian. Secara finansial, kepentingan neoliberal mampu mengguncang
perekonomian suatu negeri dengan menarik investasi secara besar-besaran ketika
suatu pemerintahan dianggap mengancam kepentingannya.

Yang paling terkena dampak negatif kebijakan-kebijakan
ini bukanlah para kroni dan birokrat Orde Baru yang kehilangan hak-hak istimewa
mereka dalam perekonomian. Dengan hasil jarahan yang besar mereka mampu
beradaptasi, bahkan mengambil keuntungan dan menyembunyikan asetnya. Adalah
mayoritas rakyat yang menjadi korban akibat harga- harga barang yang tinggi
karena ulah spekulatif investor, kehilangan pekerjaan karena kebijakan yang
lebih menguntungkan kapital finansial daripada kapital produktif (sektor riil),
dan tentunya kehilangan layanan sosial yang sebelumnya pun sudah sangat minim.

Dalam konteks global, neoliberalisme - dalam pengertian
kebijakan- kebijakan pemerintah yang disebutkan di atas - adalah kecenderungan
yang mendunia, tidak hanya ditemukan di negeri-negeri dunia ketiga, tapi juga
merajalela di negeri-negeri kapitalis termaju seperti AS, Kanada dan
negeri-negeri Eropa Barat. Rakyat di negeri industri maju telah menunjukkan
perlawanan yang massal dan militan terhadap kebijakan neoliberal yang mengancam
standar kehidupan mereka. Secara global neoliberalisme memperlebar jurang
antara jumlah kaum berpunya yang semakin terkonsentrasi dan jumlah kaum miskin
yang semakin membesar. Demikian pula halnya jurang kesejahteraan antara negeri-
negeri maju dan negeri terbelakang.

Walau demikian terdapat titik terang dalam perlawanan
terhadap neoliberalisme di negeri-negeri yang dipimpin oleh pemerintahan
berhaluan kiri, seperti di Venezuela, Bolivia, dan Ekuador, di mana peran pemerintah
dalam meregulasi dan merencanakan perekonomian serta menyediakan layanan sosial
semakin diperluas dan ditegaskan. Ini membawa peningkatan standar kehidupan
rakyat yang signifikan dibandingkan ketika rejim pro-neoliberal sebelumnya
berkuasa.

Dalam negeri-negeri yang dipimpin oleh partai komunis
terdapat berbagai variasi dalam interaksinya dengan kapitalisme global, sesuai
dengan kondisi domestik dan internasional masing-masing negeri tersebut. Negeri
komunis 'garis keras' seperti Korea Utara dan Kuba masih mempertahankan peran
negara yang menyeluruh dalam perekonomian. Walau demikian, tidak seperti Korea
Utara yang terisolasi oleh hampir seluruh dunia, Kuba secara bertahap mampu
menyempurnakan sistem demokrasi mereka dan berhasil melepaskan diri dari
isolasi embargo AS sambil mempertahankan capaian-capaian sosialnya - yang
paling tenar adalah pendidikan dan kesehatan yang berkualitas tinggi dan
gratis. Gerakan integrasi Amerika Latin yang dipelopori oleh Venezuela-Chavez
juga telah banyak membantu pembangunan di Kuba. Perlu dicatat bahwa Kuba secara
historis diuntungkan dengan menjadi satu-satunya negeri komunis yang tidak
menderita kehancuran akibat perang, berbeda dengan misalnya Korea Utara dan
Vietnam. Sementara Tiongkok dan Vietnam bisa dibilang cukup sukses mengadopsi
ekonomi pasar dan mengundang investasi asing, namun sejauh mana mereka berhasil
mengatasi efek-efek anti-rakyat dari neoliberalisme masih perlu dilihat lebih
lanjut.

Secara historis kenaikkan neoliberalisme bisa dijelaskan
dari krisis ekonomi yang melanda negeri-negeri industri maju pada tahun 1970an.
Pada masa itu berlaku paradigma ekonomi Keynesian yang mensyaratkan intervensi
negara dalam mengatur efek-efek destruktif dari siklus ekonomi. Paradigma yang
mendasari negara-negara kesejahteraan (welfare state) di negeri-negeri maju ini
berangkat dari pemikiran pakar ekonomi besar Inggris, J M Keynes. Ia pada akhir
PD I telah mengusulkan digunakannya intervensi negara untuk menjaga kestabilan
ekonomi dan menjinakkan kekacauan kapitalisme liberal. Usulan ini diajukannya
dalam upaya menyelamatkan sistem kapitalisme dari konflik internal yang
membuahkan krisis dan perang, maupun dari ancaman saingannya, Uni Soviet, yang
menunjukkan keunggulan ekonomi terencana. Menjelang akhir PD II, pemikiran
Keynes berperan merumuskan kesepakatan Bretton-Woods yang bertujuan untuk
mencegah terulangnya depresi besar 1930 yang bermuara pada Perang Dunia II.

Krisis stagflasi (stagnan dan inflasi) tahun 1970an
mengawali penyingkiran sistem Keynesian dan menggalakkan pengadopsian kembali
sistem ekonomi liberal (dengan sebutan baru: neoliberalisme) yang bertujuan
mengurangi sektor publik dan memperbesar sektor swasta, dengan cara antara lain
menetralisir kekuatan ekonomi rakyat seperti serikat buruh. Sebagai salah satu
kelinci percobaannya digunakanlah negeri-negeri Amerika Latin seperti rakyat
Chile yang berada dalam kediktatoran Pinochet, namun juga Bolivia. Ketika
negeri-negeri Amerika Latin terjerembab dalam krisis hutang pada awal 1980an,
neoliberalisme pun diperkenalkan oleh IMF lewat program-program pengetatan yang
harus dilakukan sebelum mendapat pinjaman (bailout). Dalam negeri-negeri maju,
Margaret Thatcher dan Ronald Reagan terkenal sebagai pelopor neoliberalisme
yang dengan ganas merongrong kekuatan serikat buruh. Keruntuhan blok sosialis
pada tahun 1990an semakin memperkuat ideologi ultra-konservatif yang mendukung
paradigma ini.

Namun pergeseran ke kanan ini mendapat perlawanan yang
semakin luas dari rakyat yang menjadi korbannya - dari pemberontakan Zapatista
pada paruh tahun 1994 di Mexico, demonstrasi di Eropa Barat pada paruh akhir
dekade tersebut, protes-protes terhadap pertemuan tingkat tinggi yang dimulai
sejak Seattle '99, pemberontakan rakyat di Bolivia dan Argentina, dan
berkuasanya rejim kiri di beberapa negeri Amerika Latin, yang diawali dengan
kenaikkan Chavez pada 1998.

Imperialisme versus nasionalisme

Dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan dalam
perekonomian global, dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme di Indonesia -
berbeda dengan neoliberalisme di negeri-negeri kapitalis induk - merupakan
produk dari tekanan kepentingan ekonomi asing atau imperialisme. Dalam beberapa
hal imperialisme saat ini masih menunjukkan karakter yang serupa dengan
imperialisme di paruh pertama abad 20 yakni, pertama,pengkonsentrasian
kepemilikan atau monopoli; kedua, supremasi capital keuangan/finansial di atas
kapital produktif. Penjajahan yang dilakukan pada intinya bertujuan untuk
melebarkan monopoli perusahaan transnasional terhadap aset-aset dan sumber daya
alam negeri-negeri kurang berkembang. Sementara ketergantungan terhadap kapital
finansial (yang bersifat lebih cair dan spekulatif dibandingkan modal
produktif) cenderung meninggalkan pengembangan kapasitas produksi.

Dengan begitu upaya untuk menyejahterakan dan
memberdayakan rakyat mau tidak mau akan berhadapan dengan persoalan kedaulatan
nasional. Hanya negara yang mampu membebaskan diri dari imperialisme
neoliberal, dari dikte kepentingan asing lah yang mampu membuat kebijakan yang
melindungi rakyat dari efek-efek destruktif dan spekulatif dari neoliberalisme:
melindungi industri dalam negeri dengan pemberian kredit dan proteksi;
menjalankan kebijakan perluasan lapangan kerja; menjamin kebebasan
berorganisasi bagi buruh; meregulasi eksploitasi sumber daya alamnya agar
efisien, ramah lingkungan dan ramah rakyat; melindungi ekonomi dari efek-efek
negatif kapital finansial; dan yang terpenting, mengalokasikan mayoritas sumber
daya yang ada untuk proyek kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat. Maka wajarlah
bila perjuangan anti- neoliberalisme di Indonesia menggunakan sentimen
nasionalisme atau penegakkan kedaulatan nasional. Dalam tujuan strategis
meningkatkan standar kehidupan rakyat Indonesia, perjuangan kedaulatan nasional
merupakan sasaran taktis yang penting. Kesimpulan semacam ini sesungguhnya
bukan sesuatu yang baru, tapi sudah diambil oleh para aktivis anti-kolonial di
Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Bung Karno dalam pamflet 'Mencapai
Indonesia Merdeka (1933)' menegaskan bahwa "...kemerdekaan adalah syarat
yang maha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme, syarat yang
penting untuk mendirikan masyarakat yang sempurna [yang tidak ada tindasan dan
hisapan].."

Pada saat ini persatuan nasional atau nasionalisme yang
relevan adalah yang berporoskan anti-imperialisme neoliberal. Nasionalisme
semacam itu merupakan inkarnasi dari nasionalisme anti-kolonialis negeri-negeri
terjajah pada abad 20; seperti nasionalisme Sun Yat Sen, Nehru, Nkrumah,
Lumumba, Castro, dan Sukarno yang dilandasi oleh kebutuhan memperjuangkan
kehidupan rakyat yang lebih manusiawi. Berbeda dengan nasionalisme fasis dan
imperialistik yang ditiupkan Jerman Nazi, Jepang, dan Amerika Serikat dengan
partner juniornya seperti Pinochet dan Suharto, yang bertujuan melebarkan
kekuasaan ekonomi kelas penguasa negeri tersebut.

Saat ini perjuangan kedaulatan nasional sebagai jalan
menuju kesejahteraan rakyat juga dapat ditemui pada negeri-negeri Amerika
Latin. Dalam kasus wilayah tersebut, kedaulatan nasional tiap negeri hanya
dapat terpenuhi bila berlangsung integrasi sukarela antara negeri-negeri
Amerika Latin - suatu konsep yang sudah dicetuskan oleh pahlawan pembebasan
Amerika Latin, Simon Bolivar, sejak abad 19. Oleh karenanya perlawanan terhadap
dominasi ekonomi AS dilawan dengan pembentukan kerjasama antara negeri-negeri
Amerika Latin dalam bentuk antara lain zona perdagangan adil (fair trade) ALBA
yang merupakan antitesis dari zona perdagangan bebas (free trade) FTAA
yangdigunakan AS untuk memperlebar monopolinya. Kebijakan integrasi wilayah ini
tidak hanya menguntungkan sektor rakyat tapi juga kelas pengusaha domestik
negeri-negeri tersebut yang sebelumnya sangat dirugikan oleh monopoli ekonomi
AS.

Masalah pertarungan kelas (class struggle) dalam
perjuangan pembebasan nasional

Kawan Zely, dalam kritiknya terhadap strategi
PRD/Papernas, menunjukkan kesalahpahaman bahwa perjuangan nasionalis melawan
penjajahan asing mengabaikan pertarungan kelas. Ini menurut saya berangkat dari
penerapan analisa kelas secara kaku (reduksionisme kelas). Teori pertarungan
kelas memang merupakan hukum yang benar,yang tidak terpatahkan. Walau demikian
ia harus disempurnakan atau dilengkapi dengan teori-teori yang lebih mendetail
berdasarkan situasi yang selalu berubah. Ia tidak lebih dari sebuah pedoman,
sebuah kompas, bukan peta yang dengan detil menggambarkan rute yang harus
dituju. Praktek revolusioner bukanlah suatu perjalanan yang sudah ditentukan
arahnya, tapi suatu penjelajahan yang dengan pedoman ini berupaya mencapai
tujuan masyarakat yang berbasiskan solidaritas dan kemanusiaan.

Menurut Kawan Zely, "Problemnya memang
"ANTI-neo-liberalis me" sudah disamakan; di sama dengan kan dengan
"nasionalis" secara "umum". Padahal banyak sekali komponen
kebijakan neo-liberal yang menguntungkan modal dalam negeri, yang berhadapan
langsung dengan kepentingan kaum pekerja. Jadi "ANTI NEOLIBERAL"
disamakan dengan "ANTI-asing" "nasionalisme" ....Padahal
jelas bahwa MODAL DALAM NEGERI dan kaum pekerja justru punya kepentingan yang
berlawanan."

Pertama, berdasarkan proposal strategi elektoral yang
diajukan PRD kepada Papernas (8), saya tidak menemukan satu pernyataan pun yang
menyamakan anti-neoliberalisme (alias anti kebijakan fundamentalis pasar)
dengan nasionalisme. Yang kurang lebih dapat diparalelkan dengan nasionalisme
bukanlah anti-neoliberalisme , melainkan anti-imperialisme. Di negeri kapitalis
maju seperti AS atau Inggris Raya, perjuangan melawan neoliberalisme tidak
tepat bila mengambil karakter nasionalisme karena adalah negara atau pemerintahan
mereka sendiri yang melakukan penjajahan atau imperialistik.

Sebagaimana dijelaskan di atas, berbeda dengan negeri
kapitalis maju, nasionalisme yang bersifat anti-neoliberal dalam negeri-negeri
terjajah atau dunia ketiga memiliki karakter yang progresif; karena ia
merupakan perlawanan terhadap kapitalisme global yang membusuk atau dengan kata
lain: imperialisme - yang monopolistik dan spekulatif, tidak produktif. Dengan
demikian perjuangan pembebasan nasional di Indonesia - tidak seperti tuduhan
Kawan Zely - bukan berarti melupakan atau coba mendamaikan pertarungan kelas,
melainkan menuntaskannya dengan menggunakan analisa yang luas, yang paham duduk
permasalahan sesungguhnya: yakni bahwa suatu pemerintahan yang masih didikte
oleh kepentingan asing, tidak akan mungkin berpihak pada kelas pekerja - dus,
kelas pekerja tidak akan mencapai kemajuan berarti dalam perjuangannya.
Konsekuensi dari ini adalah kelas pekerja harus turut berjuang membentuk
pemerintahan yang berdaulat.

Kedua, neoliberalisme itu sendiri memang pada dasarnya
suatu bentuk kebijakan kapitalis. Kata Chavez mengutip alm Paus Yohanes Paulus
II: kapitalisme yang liar (savage capitalism). Dengan demikian memang berpihak
kepada kaum pemodal. Masalahnya adalah kaum pemodal mana yang paling
diuntungkan? Dan yang mana yang mungkin dirugikan? Ada beragam tipe
kapitalisme. Contohnya, kapitalisme kroni yang menguntungkan kroni-kroni kelas
penguasa, kapitalisme finansial yang menguntungkan modal finansial, kapitalisme
kesejahteraan (welfare capitalism) yang meningkatkan kesejahteraan rakyatnya
secara terbatas, dan banyak lagi macam lainnya. Kapitalisme memang pada
dasarnya adalah sama: yakni digerakkan oleh nilai lebih yang diciptakan kelas
pekerja dan diambil-alih oleh kelas pemodal; namun dalam prakteknya ia
mengambil bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan kondisi masyarakat dan fase
historiknya.

Sebagaimana disinggung di atas, neoliberalisme merupakan
kapitalisme dalam krisis, yang mengutamakan kepentingan kapital monopoli
transnasional. Dalam upayanya merebut pasar domestik dan menjual- belikan saham
dan komoditas dalam negeri, terdapat beberapa pengusaha nasional yang
dirugikan. Ini paralel dengan suatu konflik yang inheren dalam kapitalisme;
yakni antara kapitalis besar dengan borjuasi kecil. Dalam konteks Indonesia,
secara umum - bukan secara keseluruhan - keduanya terpisahkan oleh garis
kebangsaan; yang kapitalis besar berupa kapital transnasional yang sebagian
besar milik asing, cukup besar dan berkuasa untuk memindahkan operasinya ke

berbagai negeri; yang kecil, berupa kapital lokal yang
bergantung pada pasar domestik atau kapasitas produksi domestik.

Memang benar apa yang dikatakan Kawan Pius bahwa perlu
dilakukan suatu analisa mendalam tentang borjuasi nasional. Walau demikian dengan
mengikuti berita saja bisa didapatkan gambaran kasar tentang kondisi beberapa
sektor borjuasi nasional. Sudah banyak terlihat keluhan kaum pengusaha domestik
terhadap liberalisasi pasar dan tidak adanya inisiatif pemerintah untuk
mengembangkan sektor produktif (sektor riil). Di antara mereka terdapat
produsen pemasok pasar domestik yang mengeluhkan tidak adanya upaya pemerintah
untuk melindungi industri dengan membiarkan bea masuk produk impor yang rendah,
pengusaha eksportir yang mengeluhkan kurangnya infrastruktur yang mendukung
perdagangan seperti sarana pelabuhan, pengusaha

distributor yang berhadapan dengan kapital transnasional
di bidang ritel, hingga kenaikan BBM yang juga memukul hampir seluruh sektor
pengusaha.

Pengusaha-pengusaha semacam ini cukup berperan dalam
menyediakan lapangan kerja dan menyediakan barang kebutuhan dan jasa bagi
masyarakat secara keseluruhan. Di Venezuela, contohnya, kebijakan Chavez banyak
yang sebenarnya menguntungkan sektor-sektor pengusaha seperti ini.(9) Mission Mercal,
contohnya, mendirikan toko-toko (kelontongan) yang menjual barang kebutuhan
dengan harga murah di wilayah-wilayah miskin perkotaan. Barangnya dibeli oleh
pemerintah dari pengusaha dengan harga kompetitif - dengan demikian memotong
monopoli ritel dan menguntungkan produsen dan distributor kecil dan menengah.
Di Indonesia, pengusaha seperti ini mendambakan suatu pemerintahan yang
menekankan kemandirian ekonomi. Sayangnya, ide tersebut justru banyak diangkat
oleh kaum nasionalis yang berkecenderungan chauvinist dan masih diragukan
komitmen anti- neoliberalnya, seperti Wiranto (Hanura) dan Prabowo (Gerindra).
Padahal pengusaha seperti ini sebenarnya dapat menjadi kawan potensial kaum
pergerakan dalam tahap perjuangan anti-neoliberalisme.

Apakah dengan merangkul sektor borjuasi nasional tertentu
ke dalam persatuan nasional anti-neoliberal maka perjuangan kelas pekerja
terhadap pengusaha mesti dihentikan? Tentu tidak. Perjuangan tetap dilancarkan.
Kelas pekerja tetap berhak untuk melawan pengusaha yang bertindak
sewenang-wenang. Adalah penting untuk mempertahankan standar kehidupan kelas
pekerja ketika logika profit pengusaha mengalahkan logika kemanusiaannya. Walau
demikian terdapat juga keadaan di mana baik pengusaha maupun buruh sama-sama
dirugikan oleh kebijakan neoliberal - misalnya saat kenaikkan harga BBM atau
lesunya bisnis. Dalam hal ini konflik industrial antara buruh dan pengusaha
bisa kontraproduktif bagi keduanya - menyebabkan tidak ada pesanan atau
ditariknya investasi. Pengusaha bisa menyelamatkan diri dengan memindahkan
usaha atau investasinya, namun buruh adalah pihak yang paling dirugikan karena
kehilangan mata pencahariannya.

Ini bukan berarti bahwa buruh jangan melawan. Ini berarti
bahwa perjuangannyaharus dilakukan dengan menggunakan suatu strategi taktik
yang baru, yang membutuhkan penanaman kesadaran dan aksi-aksi multi-sektor
(bahwa bencana neoliberal juga menyerang sektor masyarakat lainnya), yang
mengutamakan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal pemerintah, sehingga mau
tidak mau harus melampaui persoalan ekonomi/ normatif dan mengambil karakter
yang lebih politis. Strategi baru ini didasarkan pada perkembangan-
perkembangan terkini yang diakibatkan oleh neoliberalisme.

Dalam bidang perburuhan, misalnya, terdapat perubahan
penting berupa reorganisasi proses produksi secara internasional dengan praktek
men- sub-kontrak pesanan atau proyek kepada pihak ketiga (outsourcing) . Ini
mempermudah keluar-masuknya modal dan memberikan ketidakpastian terhadap
kelangsungan industri di suatu wilayah, dengan demikian mengorbankan kapasitas
produktif demi keleluasan kapital finansial. Akibatnya pengusaha dipaksa untuk
menekan biaya produksi sekecil mungkin demi mendapat proyek. Sementara buruh
mengalami penurunan kesejahteraan dan menghadapi ketidakpastian dalam
pekerjaan. Dalam pasar tenaga kerja, terjadi proses yang sejalan dengan itu
melalui fleksibilitas pasar tenaga kerja (LMF) yang mengurangi jenis pekerjaan
yang tetap dan meningkatkan jenis pekerjaan tidak tetap seperti paruh waktu,
kontrak atau borongan (by piece). Fenomena yang terjadi secara global ini
secara langsung mengikis daya tawar buruh dan menyebabkan penurunan keanggotaan
serikat buruh.

Kondisi obyektif ini secara langsung mengurangi jumlah
buruh sebagai kelas tersendiri maupun mengikis kekuatannya sebagai kekuatan
terorganisir. Seorang buruh hari ini, dalam lima bulan ke depan bisa habis masa
kontrak dan tak dapat pekerjaan baru, pulang ke desa jadi petani atau miskin
desa, atau menganggur jadi miskin kota. Pengorganisiran buruh menjadi tugas
yang semakin sulit, apalagi dengan kebijakan anti-serikat buruh yang semakin
meluas dari tingkat nasional hingga tingkat pabrik. Inilah bentuk
neoliberalisme yang diderita oleh kaum buruh, yang secara langsung melumpuhkan
kekuatan buruh sebagai kepentingan ekonomi yang independen. Maka metode
perjuangan buruh yang baru mutlak sangat diperlukan. Metode ini harus berupa
suatu gerakan politik melawan neoliberalisme yang berkoalisi dengan sektor
masyarakat lainnya yang menjadi korbannya. Muatan politiknya harus menuntut
suatu perubahan kebijakan yang ada saat ini.

Dalam menghadapi pemilu 2009, adalah penting bagi kelas
pekerja untuk mendesakkan agenda-agenda mereka ini. Maka dalam kondisi saat
ini, ketika polarisasi dan pergeseran antara partai dan elit politik masih
berubah-rubah, masih terbuka jalan selain golput bagi kelas pekerja. Salah
satunya dengan mengangkat tuntutan mereka lewat aksi-aksi di dewan perwakilan
rakyat dan di pabrik, menodong partai-partai yang bertarung agar memperjuangkan
tuntutan minimum yang kongkrit dan bisa diukur. Agar perjuangan anti-neoliberal
berjalan efektif, prioritas utama harus ditujukan pada penuntasan sumber
permasalahan bersama - neoliberalisme dan imperialisme. Dan bila mana terdapat
konflik antara unsur-unsur yang mendukung perjuangan tersebut, maka hal itu
sebaik-baiknya ditangani tanpa mengorbankan perjuangan anti- imperialisme
neoliberal itu sendiri. Adalah penting untuk tidak menciptakan musuh yang tidak
perlu, dan tidak melupakan pihak-pihak yang berpotensi dijadikan kawan.

------------ ---

(1) Bisa dibilang terdapat dua thread dalam diskusi ini:
http:// groups.yahoo. com/group/ IndoProgress/ message/2650dan http://groups.
yahoo.com/ group/IndoProgre ss/message/ 2829

(2) Sesungguhnya Budi Wardoyo menuliskan sebuah argumen
yang senada dengan ini dengan tujuan mengkritik PRD/Papernas (http://
arahgerak.blogspot. com/), namun belum disertakan dalam diskusi, dengan
demikian belum diulas dalam pembahasan ini.

(3) Bagian tulisan ini banyak mengacu pada tulisan
Harnecker, "Tentang Strategi Kiri" http://kajian- indoprogress.
blogspot. com/ 2008/08/tentang- strategi- kiri.html Mengacu pada tulisan
Harnecker, 'persatuan gerakan' yang dimaksud di

sini sebenarnya mengacu pada 'Kiri' sebagaimana
dijelaskan oleh Marta Harnecker, dan persatuan oposisi sesungguhnya mengacu
pada blok sosial alternatif yang anti-neoliberal. Harnecker mendefinisikan
"Kiri" sebagai "konvergensi semua kekuatan yang melawan sistem
kapitalis dengan logika profitnya, yang memperjuangkan masyarakat alternatif
yang berdasarkan humanisme dan solidaritas dan dibangun atas kepentingan kelas
pekerja, yang membebaskan mereka dari kemiskinan materi dan penderitaan
spiritual yang dikembangbiakkan oleh kapitalisme. Kiri, dengan demikian,
terdiri bukan saja atas

partai atau organisasi politik kiri; ia juga menyertakan
aktor-aktor sosial dan gerakan."

Namun untuk kepentingan pembahasan ini istilah tersebut
saya perluas menjadi 'kaum pergerakan' dengan asumsi bahwa unsur-unsur
pergerakan di Indonesia menyetujui dan memperjuangkan tujuan yang disebutkan
Harnecker di atas. Tentang siapa-siapa saja yang bisa dimasukkan dalam definisi
tersebut dalam konteks Indonesia, itu tentunya merupakan perdebatan tersendiri.
Menurut saya sendiri itu tidak hanya terbatas pada organisasi yang
berinspirasikan Marxisme, melainkan juga beberapa organisasi nasionalis dan
keagamaan yang cukup progresif.

(4) bisa dilihat dari tulisan Fidel dlm bhs Inggris
berikut http:// www.escambray. cu/Eng/Special/ Reflections% 20by%20Fidel% 20Castro/
Cchivas070827856. htm

(5) buku wawancara tersebut telah diterjemahkan ke Bhs
Indonesia oleh Pius Tumangger

(6) Terdapat beberapa artikel bhs Indonesia tentang
contoh-contoh semacam ini di beberapa negara di http://nefos. org

(7) Marta Harnecker dalam "Tentang Strategi
Kiri" mengutip Noam Chomsky (1998): "terdapat semacam "senat
virtual" yang terdiri dari spekulator finansial. Bila suatu negeri
memutuskan untuk lebih menekankan program-program pengembangan sosial, "senat
virtual" ini dapat dengan sekejap mengambil keputusan menentang kebijakan-

kebijakan itu, dengan menarik sejumlah besar kapital dari
suatu negeri, dengan konsekuensi- konsekuensi yang mengerikan.menggamb arkan
kekuatan finansial ini sebagai "senat virtual"."

(8) lihat website KPRM-PRD http://kprm- prd.blogspot.
com/2008/ 01/ proposal-politik- intervensi- pemilu-2009. html

(9) lihat laporan bhs Inggris http://www.venezuel
analysis. com/news/ 2905

Baca
Selengkapnya!

Tantangan
Aktifis Masuk Parlemen  

9.9.08

Oleh: RUDI HARTONO

Arena pemilu 2009 akan betul-betul menarik. Ada
38 partai politik yang akan turut berkompetisi merebut dukungan rakyat. Dan
yang menarik adalah keterlibatan sejumlah aktifis mahasiswa, ataupun gerakan
sosial-radikal dalam pertarungan pemilu 2009. Ada Dita Indah Sari dari Papernas
yang tergabung dalam PBR, ada Budiman Sudjatmiko dari PDIP, ada Aan Rusdianto
dan Faizal Resa di PKB, Pius Lustrilanang di Gerindra, Anas Urbaningrum di
Demokrat, Fadli Zon di Hanura, Rama Pratama di PKS, dan masih begitu banyak
yang lain. Keterlibatan sejumlah aktifis dalam pertarungan pemilu 2009 kemudian
dianggap menarik, jikalau tidak dipandang " aneh" sejumlah kalangan. Karena
keputusan sejumlah aktifis berkompetisi dalam pemilu dan tergabung dalam partai
politik dianggap telah melanggar sebuah "koridor" umum, yang seolah sudah
menjadi hukum tak tertulis, bahwa aktifis harus menjaga kemurnian idealismenya
dengan tetap berada dijalanan.

Problem Gerakan Sosial-radikal di Indonesia

Aktifis terlibat dalam gerakan politik, dan bahkan berpartisipasi
dalam parlemen merupakan hal yang sah, dan malahan menjadi wajib dimasa-masa
tertentu. Dalam sejarah pergerakan di Indonesia, metode parlementer bukan hal
yang baru. Pada masa pergerakan melawan kolonialisme, tepatnya Desember 1916,
aktifis pergerakan masuk dalam Volksraad (parlemen boneka Belanda). Beberapa
organisasi seperti BO (Boedi Oetomo), Insulinde, dan CSI (Central Serikat
Islam) menyatakan berpartisipasi dalam Volksraad, dengan alasan parlementer
memiliki kekebalan berhadapan dengan pemerintah kolonial, sehingga memudahkan
dalam mengkampanyekan kepentingan rakyat hindia-belanda.

Pada tahun 1950, seiring dengan pengaruh demokrasi
parlementer, dilaksanakan pemilihan umum yang pertama tahun 1955, yang disebut
oleh sejumlah analis politik sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah
Indonesia. Gerakan mahasiswa dengan memegang teguh ideologi perjuangan dan
platform politik menyatakan berafilisasi dengan partai yang memiliki garis
ideologi dan politik yang sama. Seperti HMI yang berafilisasi ke Masyumi, PMII
berafiliasi ke NU, GMNI berafiliasi ke PNI, CGMI berafiliasi ke PKI, GMKI
berafiliasi dengan PARKINDO, dan Germasos berafiliasi kedalam tubuh PSI.
kehidupan politik pada masa itu begitu sehat, politik aliran (ideologi) muncul
dalam segala aspek kehidupan sosial, termasuk kampus.

Perkembangan positif ini justru dihancurkan oleh
kediktaroran Orde Baru kemudian, yang menghancurkan gerakan politik-radikal dan
membubarkan ormas-ormasnya. Orde baru menerapkan system floating mass (massa mengambang),
yang melarang rakyat terlibat dalam kehidupan politik. Dimulailah era
depolitisasi dan deideologisasi terhadap rakyat, termasuk gerakan mahasiswa. Di
Mahasiswa sendiri berkembang sebuah prinsip gerakan yang disebut moral force
(gerakan moral), yang memposisikan gerakan mahasiswa sekedar gerakan koreksi.
Gerakan mahasiswa hanya bertindak sebagai pemicu sekaligus menjebol kebuntuan
politik, setelah itu mahasiswa kembali kekampus, dan tongkat estafek diserahkan
kepada politisi dan partai. Inilah fase dimana gerakan mahasiswa dan gerakan
sosial-radikal diasingkan dari kehidupan politik, termasuk parlemen.

Tantangan Sebenarnya Bagi Aktifis yang Masuk Parlemen

Sudah lama partai politik kehilangan kepercayaan dimata
rakyat. Terlebih sekarang, ketika beban ekonomi, kesulitan hidup,
tekanan/kekerasan politik, diskriminasi terjadi dimana-mana, partai politik
sibuk dengan pembagian kekuasaan dan korupsi. Bahkan, ada pengurus partai dan
politisi di parlemen terlibat skandal seks yang memalukan. Itulah tangangan
pertama dari aktifis yang terjun keparlemen sekarang ini; merubah pandangan
negatif lembaga parlemen menjadi berwatak kerakyatan.

Kedua, persoalan utama partai politik dan hal ini menjadi
hal umum dikalangan partai politik adalah ketiadaan atau kekosongan ideologi.
Partai politik dan pengurus partai tidak punya pegangan ideologi sebagai
penuntun arah dan langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia.
Kehadiran aktifis harus menawarkan (menginjeksi) ideologi pergerakan kedalam
partai. Ini tidak mudah, sehingga diperlukan pewadahan terhadap aktifis ini.
Harus ada kontrak politik, harus ada control dari kekuatan organisasi dan
unsure serikat buruh, tani, miskin kota, perempuan, NGO, dan lain-lain.
Sehingga tidak boleh lagi aktifis sekedar menyerahkan diri bulat-bulat kedalam
partai, tetapi harus disertai agenda perjuangan dan komitmen politik yang
konkret.

Ketiga, mereka para aktifis harus melahirkan tradisi baru
dalam berpolitik dan berpartai, termasuk merombak tradisi di parlemen. Tradisi
ini memungkinkan dibangun, secara perlahan-lahan, dengan membangun semacam
kaukus aktifis pergerakan lintas partai di parlemen. Tentunya dengan membuatkan
ikatan platform, berupa program perjuangan yang sifatnya strategis sebagai
jalan keluar penderitaan rakyat.

Penulis adalah aktifis Mahasiswa, Pengurus Eknas Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Pengurus DPP Papernas, Pengurus
redaksi BERDIKARI online.

Baca
Selengkapnya!

Silahkan Akses Jurnal Arah-KIRI | Berjuang Untuk
Mewujudkan Indonesia Baru http://www.arahkiri2009.blogspot.com

 

"Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia" (Multatuli)
Stand up for Democracy! Website http://www.arahkiri2009.blogspot.com

Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Search

Start Searching

Find everything

you're looking for.

Moderator Central

Yahoo! Groups

Join and receive

produce updates.

Check out the

Y! Groups blog

Stay up to speed

on all things Groups!

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
Ahli yang menghantar menggunakan kata-kata kesat dan kasar atau menyerang peribadi ahli yang lain, email mereka tidak akan disiarkan.

Ahli group yang sentiasa menghantar email berkenaan politik sahaja akan disiarkan emailnya tanpa penapisan moderator group.

Email yang disiarkan dipertanggungjawabkan kepada pengirim email tersebut dimana moderator dan group tidak boleh dipertanggungjawabkan.

=============================================
Link List:
•      Lirik Lagu Popular - http://www.lirikpopular.com     
•      Spa Q              - http://spa-q.blogspot.com     
•      Auto Insurance     - http://pdautoinsurance.blogspot.com     

No comments:

Alexa Traffic Rank

Subscribe to dunia-politik

Subscribe to dunia-politik
Powered by groups.yahoo.com