20081003

Dunia-Politik.blogspot.com - Digest Number 1689

Messages In This Digest (2 Messages)

Messages

1.

Laskar Pelangi Film Terbaik Tahun Ini

Posted by: "jip_id" jip_id@yahoo.com   jip_id

Fri Oct 3, 2008 3:44 am (PDT)

Laskar Pelangi Film Terbaik Tahun Ini
<http://junarto.wordpress.com/2008/10/03/laskar-pelangi-film-terbaik-tah\
un-ini/
>
Apa Anda sudah menonton Laskar Pelangi versi layar lebar?

Setelah menyaksikan penampilan Andre Hirata dalam Kick Andy, membeli
novelnya secara terhubung di internet, dan akhirnya membaca buku ini
dalam sehari, saya menjadi salah seorang di antara ratusan ribu
penggemar yang menantikan Laskar Pelangi diangkat ke layar lebar. Saya
menontonnya kemarin dan sangat menikmatinya.

http://junarto.wordpress.com/2008/10/03/laskar-pelangi-film-terbaik-tahu\
n-ini/

<http://junarto.wordpress.com/2008/10/03/laskar-pelangi-film-terbaik-tah\
un-ini/
>

2.

Terbaru di Jurnal Arah-KIRI: Anti-Neoliberalisme Yang Bukan Sekedar

Posted by: "Rudi Hartono" arahkiri2009@yahoo.com   arahkiri2009

Fri Oct 3, 2008 5:55 am (PDT)



Anti-Neoliberalisme
Yang Bukan Sekedar Slogan; Tanggapan Terhadap Budi Wardoyo  

3.10.08

Oleh: Data Brainanta

Staff Departemen Hubungan Internasional, DPP Papernas

Budi Wardoyo (Yoyok), seorang pimpinan KPRM-PRD, menyebarluaskan tulisannya
yang berjudul "Arah Perjuangan Sebenarnya ..." [1] sebagai tanggapan
terhadap tiga tulisan yang masing-masing dibuat oleh tiga aktivis Papernas,
salah satunya adalah tulisan saya "Kesepakatan Minimum Kongkrit ..."
[2].

Ada banyak hal yang diangkat dan
dipermasalahkan oleh Bung Yoyok, namun secara umum saya sederhanakan menjadi
dua garis argumen:

a. Seluruh politikus di luar pergerakan dan sektor pengusaha nasional tidak
dapat dijadikan kawan dalam membangun koalisi anti-neoliberal [3], karena
secara historik tidak berkapasitas untuk menegakkan kemandirian nasional. Yang
mampu melaksanakan tugas ini adalah rakyat miskin.

b. Papernas telah meninggalkan pergerakan demi mengikuti pemilu 2009, dan
pembangunan koalisi Papernas-PBR tidak berdasarkan kepentingan
anti-neoliberalisme, melainkan kepentingan pribadi.

Sebelum mulai membahas kedua argumen ini, perlu saya terangkan terlebih dulu
isi tulisan saya "Kesepakatan Minimum Kongkrit...", yang dalam
beberapa hal disalah-artikan oleh Kawan Yoyok, entah dengan sengaja atau tidak.

1. Diskusi Mana Yang Lebih Bermanfaat: Pro-Kontra
Koalisi PBR-Papernas, atau Bagaimana Membendung Neoliberalisme?

Oleh karena saya meyakini bahwa yang terakhir adalah
seribu kali lebih bermanfaat, maka tulisan saya yang ber-subjudul "Sebuah
Sumbangan Pemikiran Untuk Pembangunan Persatuan Pro-Rakyat" saya kirimkan
untuk menjadi bahan diskusi di milis Indoprogress. Tulisan yang dikecam Yoyok
itu melemparkan suatu usulan sederhana tentang bagaimana menggunakan pemilu
untuk membendung kebijakan neoliberal, yang bertanggung jawab atas hampir
seluruh penderitaan rakyat Indonesia, dari kenaikkan harga BBM dan pangan
hingga pengangguran besar-besaran.

Namun sayangnya Yoyok memahaminya dengan sempit dan
berprasangka bahwa tulisan tersebut semata-mata sebuah seruan untuk
"bersatu dengan PBR". Padahal tidak sedikit pun hal itu termuat
(maupun terlintas di benak saya) dalam tulisan tersebut - pembaca dipersilakan
menelitinya sendiri. Satu-satunya seruan yang terdapat dalam tulisan itu adalah
untuk merumuskan suatu tuntutan anti-neoliberal yang kongkrit dan terbatas,
baik di dalam dan luar parlemen, untuk diperjuangkan secara konsisten. Saran
itu ditujukan pula ke jajaran anggota dan pengurus Papernas, bukan hanya ke
umum, karena tentunya saya sebagai anggota Papernas sangat mengharapkan dan
menuntut agar aktivis Papernas, termasuk yang bergabung dengan PBR,
memperjuangkan ini. Begitu pula harapan saya terhadap individu pergerakan dan
unsur pro-rakyat lainnya, yang berjuang di dalam maupun di luar ajang pemilu
dengan wadah apa pun. Neoliberalisme adalah musuh yang kuat, yang tidak bisa
dihadapi sendiri-sendiri, melainkan harus dikeroyok bersama-sama.[4]

Ajang baru perjuangan anti-neoliberal:
Elektoral-Parlementer-Konstitusional

Gerakan anti-neoliberal sejauh ini terartikulasikan di
luar parlemen, namun itu pun masih mengalami berbagai permasalahan sehingga
belum melahirkan suatu gerakan politik alternatif dengan isu yang koheren. Ini
bukan berarti merendahkan peran perjuangan ekstra-parlementer, namun menyadari
rintangan dan keterbatasannya.[5]

Sementara di dalam parlemen bisa dibilang tidak terdapat
gerakan anti-neoliberalisme dalam makna kekuatan politik yang konsisten
memperjuangkannya. Isu-isu anti-neoliberal hanya diangkat bila dapat mendongkrak
atau menjatuhkan popularitas kelompok politik tertentu. Benar sekali bahwa
sejauh ini belum ada partai politik di parlemen yang konsisten anti-neoliberal;
mereka bahkan tidak ragu-ragu mendukung kebijakan neoliberal bila ada
kesempatan.[6]

Arena pertarungan yang tersedia bagi pergerakan, bagi
perjuangan anti-neoliberal, adalah yang memungkinkan artikulasi kehendak
rakyat. Arena yang memberikan ruang paling leluasa untuk ini adalah jalanan
(ekstra parlementer) dengan aksi-aksi mobilisasinya. Keampuhan arena ini bisa
dilihat, contohnya, dari aksi anti kenaikkan BBM yang kemudian mampu
mendesakkan hak angket di dalam DPR, namun tidak menghentikan pemerintah
menaikkan harga BBM.

Aksi-aksi anti-neoliberal yang besar dan militan lainnya
pun masih seringkali belum mampu menahan derap maju kebijakan neoliberal,
karena tidak secara langsung memiliki kekuatan legal untuk mendesakkan
tuntutannya.

Ini menandakan perlunya melancarkan perjuangan dalam
arena pertarungan lainnya yang terbuka bagi pergerakan, yakni badan-badan
pemerintahan yang berisikan individu-individu yang dipilih rakyat, yakni
parlemen dari lokal hinggal nasional. Walaupun arena ini memberikan ruang yang
lebih terbatas dan tantangan yang lebih besar dibandingkan yang pertama, namun
ia dapat sangat berpengaruh karena memiliki kekuatan legal yang berpotensi
'menghukum' - bahkan dalam kasus yang pelik, menggulingkan - eksekutif
pro-neoliberal dan memberikan akses tersendiri lewat media bagi kampanye
pro-rakyat. Persoalannya adalah bagaimana merubah perimbangan kekuatan yang ada
agar unsur-unsur anti-neoliberal semakin membesar dan dapat terartikulasikan
dalam parlemen.

Koalisi seputar tuntutan anti-neoliberal kongkrit

Tulisan saya mengajak untuk merumuskan program-program
minimum kongkrit yang anti-neoliberal, yang dapat disepakati bersama dan dapat
menjadi tempat berkumpul bagi unsur-unsur kerakyatan. Usulan ini sendiri
bersumber dari inspirasi pengalaman gerakan kiri Amerika Latin sebagaimana
dijelaskan oleh Marta Harnecker [7]:

"Untuk mengartikulasikan kepentingan aktor-aktor
[korban neoliberal] yang beragam tersebut, perlu untuk memformulasi
tuntutan-tuntutan kongkrit terbatas yang mempraktekkan strategi konvergensi
(Harnecker, 491). Pendeknya, kita butuh mengelaborasi suatu program yang
menggabungkan kepentingan dari mereka semua yang menjadi korban neoliberalisme.
Platform ini akan menghadang perkembangan proyek neoliberal dan menawarkan
alternatif kongkrit, seperti program anti-kelaparan yang diformulasikan oleh
Presiden Brasil, Lula."

Secara khusus saya tekankan perjuangan elektoral karena
konteksnya adalah momentum pemilu, yang memberikan kesempatan bagi penyerbuan
unsur-unsur pro rakyat ke dalam arena parlementer. Jadi konsep koalisi ini
adalah koalisi bersama yang terdiri dari berbagai partai dan individu oposisi
yang menyepakati program-program minimum itu.

Contoh prakteknya bisa semacam pakta atau kontrak politik
untuk menghapuskan atau merevisi legislasi yang pro-neoliberal (e.g. UU Migas,
UU Penanaman Modal Asing). Tentunya dapat ditambahkan pula tuntutan-tuntutan
lainnya seperti demokratisasi dan kesejahteraan, namun titik fokusnya perlu
anti-neoliberal agar dapat efektif mempolarisasi pertarungan politik seputar
persoalan anti- dan pro- kebijakan neoliberal. Dengan dilatari kemerosotan sosial
ekonomi akibat kebijakan-kebijakan neoliberal, program-program ini, bila
berhasil diartikulasikan dengan baik dan tepat waktu, berpotensi besar untuk
disambut dan didukung oleh rakyat.

Malaysia: kesepakatan melawan rejim berkuasa (BN)
melalui pakta rakyat (Pakatan Rakyat)

Taktik semacam ini dapat ditemui - mengambil contoh yang
dekat - di Malaysia dalam bentuk kesepakatan rakyat (Pakatan Rakyat) dengan
landasan yang cukup berbeda, yakni anti-pemerintahan Barisan Nasional (BN) yang
berkuasa, bukannya secara khusus anti-neoliberal. Informasi berikut saya ambil
dari catatan kaki berita "Kerjasama minimal dengan Pakatan, tidak dengan
BN" yang dimuat di nefos.org [8]:

"Pakatan Rakyat adalah konsep koalisi partai-partai
oposisi dengan ideologi yang cukup beragam (Partai Islam Se-Malaysia - PAS;
Partai Tindakan Demokratik - DAP; dan Partai Keadilan Rakyat - PKR) dan
merupakan kelanjutan dari Barisan Rakyat, suatu dokumen posisi dan panji yang
didukung oleh sekelompok partai-partai oposisi (DAP, PKR, PAS, PSM, MDP dan
PASOK) dalam masa kampanye pemilu Malaysia 2008 lalu. Dalam pemilu 2008,
Barisan Rakyat meraih jumlah suara yang sangat signifikan hingga berhasil
membentuk 5 pemerintah negara bagian dari 13 negara bagian di Malaysia, serta
memenangkan 38% (82 dari 222) jumlah kursi di parlemen federal. (informasi
diambil dari Wikipedia Bhs Inggris)"

Koalisi Pakatan Rakyat memang mungkin lebih sederhana
karena memiliki musuh bersama yang lebih kongkrit - BN - seperti halnya Suharto
dan Golkar di masa reformasi. Sementara neoliberalisme adalah suatu sistem yang
relatif abstrak di mana kekuasaannya dijalankan oleh badan-badan tak terpilih
yang dapat menjadikan politikus terpilih mana pun sebagai bonekanya dengan
jeratan ketergantungan ekonomi. Oleh karenanya tantangan kaum pergerakan adalah
menghadirkan neoliberalisme sebagai musuh bersama yang nyata, yang dapat
dipahami dengan sederhana, dengan menunjukkan bentuk-bentuk kebijakan
kongkritnya yang harus dilawan. Proses perjuangan ini tidak hanya bertujuan
untuk membendung kebijakan neoliberal, tapi juga harus digunakan untuk
memperbesar perimbangan kekuatan unsur pro rakyat; dengan kata lain, membangun
kekuatan alternatif. Untuk ini diperlukan strategi yang melancarkan
tuntutan-tuntutan tertentu menurut penentuan waktu (timing) yang jitu.

Di bawah ini saya akan coba menjawab beberapa pertanyaan
Kawan Yoyok:

1) apakah makna "dalam perjuangan elektoral" [di judul
tulisan Data] itu menggunakan alat PBR?

Jawab: Alat apa pun yang sepakat untuk membendung
kebijakan neoliberal, termasuk PBR bila ia menyepakatinya. Agar sentimen
anti-neoliberal tidak dikooptasi oleh kaum pro-neoliberal, perlu dirumuskan
suatu program yang berisikan tuntutan yang kongkrit dan terukur, bukannya
'dimajukan' tuntutannya.

Dalam hal ini, saya juga akan menanggapi pertanyaan
Yoyok:

"Untuk MENGKONGKRITKAN unsur-unsur yang berkesadaran
anti-neoliberalisme (pada tahap awal) itu saja, Data harus menyebutkannya
SECARA KONGKRIT—apakah itu PBR (apa ada partai-partai lainnya lagi?), apakah
itu KADIN, apakah itu HIPMI, apakah itu Amin Rais, Apakah itu Rizal Ramli,
apakah itu Hendro priyono, (yang sebenarnya sudah ditanyakan pada Data oleh
Pius, tapi dijawab oleh Data dengan abstrak dan tak memiliki etika akedemik:
sudah saya jawab dalam tulisan/artikel saya sebelumnya)"

Jawaban saya kepada Pius telah saya ajukan juga
sebelumnya ke Zely: "patokan pembentukan koalisinya adalah
ANTI-NEOLIBERAL"

Yang harus pertama-tama dikongkritkan (dalam arti
diproses bersama, bukan sudah jadi) adalah APA yang diperjuangkan, bukannya
SIAPA yang memperjuangkannya. Permintaan Yoyok tidak bisa dijawab pada saat
ini. Rizal Ramli - misalnya - sejauh ini anti-neoliberal, namun siapa yang bisa
menjamin ini tidak bisa berubah 180 derajat menjelang pemilu? Pertanyaan Yoyok
memformalkan, membekukan percaturan politik, seakan-akan tidak ada pergeseran
posisi yang signifikan. Padahal, sebagaimana diketahui, pergeseran koalisi
elektoral antar partai-partai peserta pemilu sangat susah ditebak, dan sebagian
besar berada di luar kendali kaum pergerakan, termasuk Papernas.

Landasan koalisi mereka adalah percampuran yang ruwet
antara ambisi individu dan kepentingan partai, sementara kepentingan
programatik mungkin seringkali ditaruh paling akhir. Menurut saya justru di
sini peran pergerakan untuk menghadapi pergeseran politik yang chaos ini dengan
memperjuangkan tradisi politik yang berbeda, yang programatik. Program itulah
yang akan menjadi pegangan sekaligus senjata untuk menghadapi praktek politik
busuk yang selama ini berlangsung.

2) apakah makna "dalam perjuangan elektoral" itu
menggunakan Partai Perserikatan Rakyat (PPR)—yang juga mendaftarakan diri dalam
Pemilu 2009, tapi gagal?

Jawab: Menurut saya, walaupun PPR sayangnya tidak lolos
pemilu, sebagai salah satu kekuatan anti-neoliberal PPR masih bisa berjuang
dengan mengkampanyekan program-program anti-neoliberal, baik dengan bergabung
dengan partai yang lolos pemilu maupun melakukan mobilisasi massa di luar
pemilu.

3) Atau persatuan kaum gerakanlah (dengan platform
minimum kongkrit anti-neoliberal) yang membentuk partainya sendiri untuk ikut
dalam ajang elektoral?

Jawab: Serupa dengan jawaban saya terhadap kasus PPR;
karena dalam pemilu 2009 'partai persatuan gerakan' yang dikehendaki Yoyok
belum terwujud, maka platform anti-neoliberal bisa diangkat di luar parlemen -
idealnya bisa selaras dengan perjuangan di dalam parlemen. Bila kemudian
pertarungan politik elektoral mengerucut pada anti dan pro neoliberal, maka
logisnya gerakan ekstra-parlementer yang anti-neoliberal memberikan dukungan,
setidaknya dukungan kritis, kepada kelompok parlemen yang anti-neoliberal.
Dukungan kritis [9] seperti ini bisa dilakukan dengan mendukung pemerintahan
atau pihak-pihak yang berkomitmen melaksanakan tuntutan-tuntutan rakyat, namun
dengan segera menarik dukungan atau bahkan melawannya ketika mulai menjauh dari
pelaksanaan tuntutan tersebut.

Bolivia: dari dukungan kritis, menjadi oposisi, dan
kemudian menang

Contoh dukungan kritis yang dijalankan dengan jitu,
menurut saya bisa ditemui di Bolivia dalam masa Presiden Mesa; yakni masa
sebelum kenaikkan Presiden yang sekarang berkuasa, Evo Morales.

Bolivia pada awal milenium dikenal sebagai ajang
pertempuran terdepan melawan neoliberalisme. Pada tahun 2000, mobilisasi rakyat
yang massif di Cochabamba berhasil membendung privatisasi air dan menendang
perusahaan AS, Bechtel, keluar dari negeri itu. Dua tahun kemudian, pemilu 2002
mengangkat gerakan politik penduduk asli (rakyat indian) Bolivia ke panggung
pemerintahan, di mana pemimpin partai Gerakan Menuju Sosialisme (MAS), Evo
Morales, yang berbasiskan rakyat indian petani koka, hanya kalah dengan selisih
suara 2% dari Gonzalez Lozada. Ini meningkatkan kepercayaan diri gerakan rakyat
indian.

Setahun kemudian, 2003, terjadi lagi mobilisasi
besar-besaran menentang ekspor gas alam ke negeri tetangga, hingga berhasil
menggulingkan Lozada. Wakil Presiden, Carlos Mesa, pun naik menggantikannya dan
berjanji melaksanakan tuntutan rakyat berupa, antara lain, pengembalian kontrol
gas alam ke rakyat Bolivia (nasionalisasi) dan menulis konstitusi baru yang
mengangkat kedudukan rakyat indian negeri itu.

Beberapa kelompok kiri radikal segera beroposisi dan
turun ke jalan melawan Mesa, namun MAS mempertahankan dukungan kritis. Ketika
Mesa semakin bergeser ke kanan dan mulai melaksanakan kebijakan-kebijakan
pro-neoliberal maka Evo Morales pun semakin bergerak ke kiri dan gencar
mengkritik dan menyerangnya. Berikut sebagian cuplikan dari laporan Federico
Fuentes pada masa itu [10]:

"Setelah Mesa menaikkan harga pajak bahan bakar di
malam tahun baru [2005], Morales menyatakan dirinya "musuh nomor satu" Mesa dan
memulai demonstrasi nasional di bulan Januari. Ketika RUU Gas dijadwalkan untuk
dibahas kembali oleh Kongres di bulan Maret, Morales kembali memulai gelombang
aksi protes dan blokade jalanan."

"Perbedaan posisi terbesar antara MAS dan gerakan
sosial lainnya terletak pada tuntutan pembubaran parlemen dan pengunduran diri
Mesa. Sementara kiri radikal menyetujui tuntutan-tuntutan tersebut, Morales
berpendapat bahwa membubarkan parlemen berbahaya karena badan itu mewakili
demokrasi, dan Kongres harus dipaksa untuk menghormati mandat dari rakyat. Ia
berkata bahwa Mesa tidak harus mundur, tapi mengembalikan penguasaan gas dan
membentuk majelis konstituensi [untuk penulisan konstitusi baru]"

Dengan semakin terbuktinya ketidakmampuan Mesa membendung
neoliberalisme, seluruh gerakan sosial termasuk MAS menjalankan mobilisasi
besar-besaran dalam bulan Mei-Juni yang kemudian berhasil mendesak Mesa untuk
mundur. Pemilu yang dipercepat pun (menurut jadwal tahun 2007) dilaksanakan
pada akhir tahun 2005. Seluruh partai yang berkompetisi mengusung tuntutan
nasionalisasi, namun rakyat telah menjalani proses pembelajaran berharga
sehingga terbukalah jalan bagi naiknya Presiden Pertama Amerika Latin yang
berasal dari rakyat indian: Evo Morales.

2. Apakah Politikus Di Luar Pergerakan Dan Pengusaha
Nasional Tidak Bisa Dijadikan Kawan Koalisi Anti-neoliberal?

Untuk menjawab ini tentunya perlu diperiksa dengan seksama
siapa saja yang berkepentingan membendung neoliberalisme. Dalam tulisan
"Kesepakatan Program Minimum..." saya mendiskusikan karakter
neoliberalisme secara lebih umum dan menyimpulkan bahwa terdapat sektor
pengusaha nasional maupun unsur-unsur lain di luar pergerakan yang secara
obyektif dirugikan oleh kebijakan neoliberal dan berkepentingan melawan
kebijakan tersebut, sehingga berpotensi untuk dilibatkan dalam suatu koalisi
anti-neoliberal.

Namun tidak sedikit pun saya menyatakan bahwa
kepemimpinan koalisi ini dibiarkan berada di tangan kepentingan pengusaha
nasional atau unsur-unsur di luar pergerakan. Justru sebaliknya, pada awal
tulisan tersebut saya menyampaikan interpretasi saya terhadap tulisan Marta
Harnecker (2005) bahwa "Unsur-unsur gerakan yang bersatu atau
terkoordinasi dalam koalisi ini berperan menjadi perekat sekaligus poros
strategis (core) yang akan menjaga agar koalisi tersebut tetap berjalan di rel
pro-rakyat."

Dengan kata lain: Kaum pergerakan harus MEMENANGKAN
KEPEMIMPINAN koalisi alternatif anti-neoliberal ini. Namun pengertian
"kepemimpinan" harus dipahami sepenuhnya sebagai suatu proses yang
demokratis, bukan sebagai sesuatu yang sudah terhidangkan sejak awal. Proses
ini membutuhkan perdebatan, diskusi, dan kampanye yang enerjik untuk meyakinkan
unsur-unsur di luar pergerakan agar menyepakati dan memperjuangkan tujuan kaum
pergerakan. Dengan begitu kaum pergerakan justru tidak boleh mundur bila
ternyata koalisi anti-neoliberal ini dimasuki oleh unsur-unsur konservatif atau
oportunis, justru harus berupaya untuk memperkuat barisan dan memenangkan massa
mereka ke dalam perjuangan anti-neoliberal yang konsisten.

Berangkat dari sini, marilah kita lihat kesalah-pahaman
Yoyok dalam memahami strategi koalisi ini:

Pengusaha nasional lemah tidak punya kapasitas membangun
kemandirian nasional

Sebelumnya perlu saya tekankan bahwa pengusaha nasional
tidaklah monolitik, melainkan terbagi-bagi ke dalam sektor-sektor dan
kelas-kelas dengan variasi kepentingan. Contohnya, pengusaha eksportir memiliki
kepentingan yang berbeda dengan pengusaha importir dalam hal kebijakan mata
uang asing.

Kelemahan Pengusaha Nasional ini bagi Yoyok merupakan
penyebab tidak mampunya pengusaha nasional menegakkan kemandirian nasional.
Benar, saya tidak menyangkal hal itu. Justru karena itulah sebagian sektor
pengusaha nasional seperti ini membutuhkan bantuan negara yang signifikan agar
usahanya dapat hidup dan berkembang.

Dalam masa Orde Baru, terdapat simbiosis antara pengusaha
dan pemerintahan Suharto yang menguntungkan kroni, birokrat, dan keluarga di
sekeliling Suharto. Dalam masa neoliberal paska Suharto, hubungan ini perlahan
digantikan dengan simbiosis antara pemerintah pro-neoliberal dengan kapital
transnasional, dan sebagian sektor pengusaha domestik besar yang diuntungkan
kebijakan neoliberal. Di luar itu terdapat sektor-sektor pengusaha yang lebih
kecil yang dirugikan oleh monopoli kapital transnasional dan kebijakan
pro-neoliberal [11].

Benar, mereka tidak bisa memimpin perlawanan terhadap
neoliberalisme sendirian, oleh karena itu mereka membutuhkan dukungan dan
energi dari kelompok politik lain. Pilihan mereka secara kasar ada dua: kaum
kanan, yang rekam jejak anti-neoliberalismenya diragukan, atau kaum kiri.
Persoalannya bukanlah menyingkirkan atau mengeksklusikan (exclude) mereka dari
perjuangan anti-neoliberal, melainkan merangkulnya sekaligus memperkuat unsur
pro rakyat agar dapat menjaga independensinya dan tidak bergantung pada mereka.
Dalam hal ini, pengusaha nasional yang posisi dan kapasitasnya lemah
sesungguhnya justru memberikan perimbangan kekuatan yang lebih menguntungkan
rakyat.

Marta Harnecker (2005), berpendapat senada dengan ini,
dalam mendiskusikan strategi kiri di Amerika Latin:

"Ke dalam pengelompokkan [korban neoliberalisme]
ini, kita harus tambahkan sektor-sektor kapitalis yang telah memasuki
kontradiksi obyektif dengan kapital transnasional. Kita di sini tidak merujuk
pada suatu "borjuasi nasional progresif" yang mampu memainkan peran
memimpin dalam mengembangkan proyek pengembangan nasionalnya sendiri, tetapi
sektor-sektor yang agar dapat bertahan tidak memiliki alternatif selain
memasukkan diri ke dalam proyek nasional, kerakyatan. Sektor-sektor ini
bergantung pada kredit dari negara dan diuntungkan oleh pasar internal yang
besar bagi produk-produk mereka, yang dirangsang oleh kebijakan sosial dari
suatu pemerintahan progresif."

Masih seputar kemandulan pengusaha nasional, Yoyok
menambahkan komentar berikut:

"Apakah bisa dibayangkan mereka [pengusaha nasional]
berani melepaskan diri dari ketergantungan terhadap (modal) asing? Tidak, bagi
pengusaha (bahkan politisi) "realistis"; dan, walaupun mereka memiliki
keberanian, kehendak politik, namun mereka tidak mengandalkan dirinya pada
kekuatan rakyat yang sadar (ideologis), maka nasibnya sudah pasti, seperti juga
terjadi pada rejim-rejim "nasionalis" yang pernah ada: ambruk."

Akan lebih mudah pembahasannya bila Yoyok mencontohkan
rejim-rejim 'nasionalis' mana yang ambruk. Apakah rejim-rejim nasionalis di
Vietnam, di Kuba? Ataukah rejim nasionalis seperti di Jerman Nazi? Indonesia
saat Sukarno atau Suharto? Marilah persoalan nasionalisme ini dibahas secara
lebih obyektif, jangan dijangkiti oleh 'nasionalistofobia'.[12]

Melepas ketergantungan modal asing, bukanlah pekerjaan
semalam. Ini membutuhkan kebijakan negara untuk secara proaktif menyediakan
modal dan memfasilitasi pengembangan dunia usaha nasional. Di Venezuela,
contohnya, walaupun sektor-sektor borjuasi Venezuela tidak memiliki jiwa
nasionalis sedikit pun, Chavez tetap berupaya meraih dukungan mereka dengan
suatu kebijakan kredit khusus.[13]

Yang bisa dilakukan negara progresif terhadap modal asing
dalam waktu yang lebih mendesak adalah mengontrolnya dan memanfaatkannya untuk
mengembangkan kapasitas produksi nasional sambil menekan dampak negatifnya.[14]

Pengusaha industri mendukung kenaikan harga BBM?

Yoyok menyangkal pernyataan saya bahwa "kenaikan BBM
... memukul hampir seluruh sektor pengusaha". Untuk ini ia menyodorkan
berita-berita yang melaporkan dukungan pimpinan organisasi pengusaha (Kadin dan
Apindo) terhadap rencana pemerintah menaikkan BBM [15]. Ia kemudian
menyimpulkan:

"Para Pengusaha, yang dikatakan oleh Data dan Gede
sebagai calon sekutu potensial dalam melawan neoliberalisme, sayang sekali
ternyata mendukung kenaikan harga BBM, bahkan bukan hanya Individu per individu
melainkan secara organisasional, sehingga pikiran yang mengharapkan para
pengusaha ini bisa menjadi sekutu dalam melawan neoliberalisme, harusnya
dibuang jauh-jauh ke tong sampah yang paling busuk."

Baiklah. Sejumlah pimpinan pengusaha mendukung kenaikkan
BBM. Tapi apakah pengusaha sebagai suatu sektor masyarakat secara obyektif
tidak dirugikan oleh kenaikkan BBM? Apakah Yoyok berhasil membuktikan bahwa
pernyataan saya "kenaikkan BBM memukul hampir seluruh sektor
pengusaha" adalah salah? Hal ini tidak dijawab oleh Yoyok. Ia hanya membeo
perkataan pimpinan APINDO dan Kadin yang mendukung kebijakan pemerintah, untuk
mendukung keyakinannya bahwa pengusaha tidak bisa dijadikan sekutu melawan
neoliberalisme.

Secara logika sederhana saja dapat disimpulkan bahwa
kenaikkan BBM pasti meningkatkan biaya produksi dan transportasi (termasuk uang
makan dan transportasi buruh), dengan demikian mengurangi marjin profit
pengusaha.[16] Adalah fakta bahwa secara ekonomi kenaikkan BBM merugikan
kepentingan pengusaha.[17] Pukulan ini lebih terasa dampaknya bagi pengusaha
menengah dan kecil.[18]

Namun, memang benar, perilaku politik pengusaha belum
tentu mencerminkan kepentingan ekonominya. Perilaku politik mereka, seperti
halnya sektor masyarakat lainnya, dapat dipengaruhi juga oleh berbagai macam
faktor, termasuk afiliasi/kepentingan politik mereka maupun hegemoni negara.
Dalam hal kenaikkan BBM terakhir, Sofjan Wanandi menerima alasan pemerintah
untuk menaikkan harga BBM walaupun ia juga mengakui bahwa kebijakan tersebut
berdampak negatif bagi dunia usaha.[19] Namun apa kita bisa mentah-mentah
mengambil pernyataan Sofjan Wanandi untuk menyimpulkan bahwa seluruh sektor
pengusaha mendukung kenaikkan harga BBM?

Dengan contoh lain dapat saya tanyakan, bila (seperti
diceritakan oleh Bung Yoyok) beberapa serikat buruh besar seperti SPSI, SPN,
dan FSPMI memilih mengundang Presiden SBY dalam May Day Fiesta, apakah itu
berarti sektor buruh mendukung SBY sehingga mereka tidak bisa dijadikan kawan
koalisi untuk melawan rejim neoliberal SBY?

Saya bukan mengatakan bahwa kaum pengusaha memiliki
potensi anti-neoliberal yang sama dengan buruh, hanya sekedar menunjukkan bahwa
Yoyok melakukan generalisasi habis-habisan terhadap sektor pengusaha nasional.
Ia memandang hutan tanpa bisa melihat pepohonan. Tidak semua pengusaha nasional
bisa dijadikan kawan koalisi, melainkan mereka yang dirugikan oleh
neoliberalisme dan terpaksa bergabung di bawah kepemimpinan kekuatan
anti-neoliberal untuk membendungnya. Memang benar terdapat pula segelintir
pengusaha nasional yang sangat kuat setingkat perusahaan transnasional, seperti
Bakrie dan Panigoro, tapi justru bukan mereka yang dijadikan kawan potensial
utama dalam koalisi anti-neoliberal.

Siapa yang memberikan imbalan? Pengusaha atau Rakyat?

Dengan demikian perlu diluruskan kengawuran Yoyok seperti
di bawah ini:

"...bila memang mereka [pengusaha] mau mengandalkan,
bersandar, pada rakyat, lalu apa bagian yang akan diberikan pada rakyat? Apakah
imbalan (pada rakyat) seperti yang diberikan oleh "nasionalisme" fasis Jerman?;
atau apakah imbalan (pada rakyat) layaknya sosial-demokrasi ala Eropa?; atau
imbalan (pada rakyat) seperti yang dipersembahan oleh negeri (yang sedang
menuju sosialisme) venezuela? ..."

Kawan Yoyok. Capaian-capaian yang didapatkan di
negeri-negeri lain, seperti negeri sos-dem di Eropa hingga negeri (menuju)
sosialisme di Venezuela, bukanlah 'imbalan' kelas pengusaha terhadap rakyatnya,
melainkan hasil perjuangan rakyat pekerja di negeri-negeri tersebut.
Kesejahteraan sosial di Venezuela saat ini, contohnya, merupakan hasil dari
kuatnya gerakan rakyat dan berkuasanya pemerintahan pro-rakyat, sehingga sumber
daya negeri itu bisa digunakan untuk kepentingan rakyat banyak.

Sedangkan sebagian kelas pengusaha di Venezuela
memutuskan untuk berpihak pada revolusi Bolivarian karena mereka tidak punya
kapasitas untuk mandiri tanpa bantuan dari negara. Selain itu mereka juga
diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Chavez yang berpihak pada pembangunan
industri nasional. Ini dilakukan antara lain dengan cara pemberian kredit
khusus, menggalakkan industri-industri tertentu yang memasok kebutuhan rakyat
seperti pangan, dan meningkatkan standar kehidupan dan daya beli rakyat,
sehingga menyediakan pasar domestik yang menguntungkan bagi dunia usaha. Jadi
justru sebaliknya, pemerintah pro-rakyat di Venezuela memberikan 'imbalan'
berupa kebijakan yang pro-industri domestik, agar pengusaha berpihak pada rejim
revolusioner.

Hal serupa terjadi di negeri-negeri sosdem, dengan
perbedaan bahwa rejim-rejim tersebut tidak revolusioner (tidak berupaya
meninggalkan kapitalisme), melainkan hanya mempertahankan kesejahteraan kelas
pekerja dalam kerangka kapitalisme; sehingga ketika mereka dilanda oleh krisis
kapitalisme, maka daya tawar kelas pekerja ikut merosot dan jaminan sosial yang
ada semakin dikikis. Di negeri-negeri sos-dem di Eropa barat dan Skandinavia
sedang terjadi penurunan standar kehidupan kelas pekerja akibat neoliberalisme;
kontras dengan peningkatan dan perbaikan hidup yang berlangsung di
negeri-negeri Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, bahkan Kuba.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kemandirian
nasional bukanlah semata-mata proyek kelas pengusaha saja, atau rakyat miskin
saja, tapi proyek seluruh sektor rakyat yang dirugikan oleh 'ketidakmandirian
nasional' dan menyadari kebutuhan 'kemandirian nasional' untuk kehidupan yang
lebih baik, yang bebas dari atau mampu menjinakkan monopoli kapital
transnasional. Sektor-sektor rakyat yang dapat memperjuangkannya termasuk juga
kelas menengah, intelektual, akademisi, pengusaha, pegawai negeri dan korban
neoliberalisme lainnya. [20] Adalah proses berjalannya perjuangan tersebut yang
akan menunjukkan siapa yang tetap di barisan dan siapa yang bubar jalan.

3. Bagaimana Seharusnya Papernas Menjawab Tuduhan Negatif
Tentang Strategi Elektoralnya?

Jawaban untuk ini bagi saya sederhana saja: praktek.

Saya yakin tidak banyak manfaatnya menanggapi
tuduhan-tuduhan negatif yang mendera Papernas dengan menggunakan tulisan atau
polemik. Landasan program dan strategi koalisi Papernas sudah cukup luas
beredar dan diangkat justru oleh pengecam nomor satunya, KPRM-PRD [21].
Tentunya mereka tidak mau mempercayai apa yang tertulis dalam dokumen Papernas
dan susah payah membuktikan dengan logika yang naif dan apriori bahwa manuver
politik Papernas tidak berlandaskan anti-imperialisme neoliberal.

Prasangka sempit dan logika yang tak valid

Pembuktian ini coba dilakukannya dengan membeberkan
kecacatan rekam jejak PBR dan keburukan sistem demokrasi parlementer yang ada.
Namun kesimpulannya hanya berkisar pada asumsi dan prasangka karena belum
tersedianya fakta pendukung (a-priori) dan digunakannya cara berpikir (logika)
yang tidak valid. Maka memperdebatkan itu tidak akan berujung pada kesimpulan
yang valid; hanya akan dibawa berputar-putar untuk menjawab kecacatan di masa
lalu yang mereka korek-korek.

Contohnya: Bung Yoyok menyimpulkan bahwa koalisi Papernas
dengan PBR tidak akan melahirkan suatu kekuatan alternatif karena
"...Sejarah kelahiran PBR, komposisi pembentuknya dan praktek politiknya
selama ini sangat jelas menunjukan siapakah PBR itu: dalam pengertian
ideologis, PBR adalah partai dengan ideologi borjuis..."

Dengan premis itu Yoyok menyimpulkan bahwa koalisi Papernas
(kita ambillah bahwa Papernas itu pro-rakyat) dengan PBR (anti-rakyat) tidak
akan menghasilkan suatu kekuatan baru yang pro-rakyat. Apakah telah terdapat
fakta-fakta yang mendukung ini? Apakah PBR, setelah beberapa tokoh Papernas
bergabung dan membaur ke dalamnya, melaksanakan atau menyetujui kebijakan
anti-rakyat? Pendeknya, apakah ada fakta bahwa PBR, sejak Dita Sari dkk.
bergabung ke dalamnya, menunjukkan keberpihakan pada neoliberalisme?
Pertanyaan-pertanyaan ini belum bisa dijawab karena jawabannya praktis belum
tersedia. Tidak ada bukti. Selama fakta-fakta itu belum ada; maka kesimpulan
Yoyok belum bisa dibuktikan atau diuji dengan kenyataan - belum valid. Tidak
benar, tidak juga salah.

Apakah dengan demikian tidak bisa menilai seorang partai
atau politikus berdasarkan masa lalunya, rekam jejaknya? Tentu bisa, tapi
metode a-priori seperti itu tidak cukup untuk menentukan apa yang akan terjadi
di masa depan. Dibutuhkan praktek untuk mengujinya dengan kenyataan yang ada,
apalagi dalam menilai hal yang lebih kompleks seperti koalisi politik antara
dua partai yang karakternya berbeda - ini tentunya jauh lebih rumit dari
sekedar menilai kelayakan individu.

Sebagaimana diketahui, tentunya dengan sangat baik oleh
Yoyok cs, bahwa politik tidak bisa disamakan dengan matematika sederhana, di
mana kenyataan dapat diwakili oleh abstraksi, dan kebenaran bisa didapatkan
secara a-priori tanpa perlu diuji oleh kenyataan. Pernyataan 2+2=4 adalah
abstraksi yang berlaku pada semua masa dan segala situasi tanpa perlu diuji
dalam praktek.

Namun pernyataan Yoyok mengenai koalisi Papernas-PBR yang
kira-kira abstraksinya: pro-rakyat + anti-rakyat = anti-rakyat, tidak mungkin
berlaku di segala situasi. Jawabannya hanya bisa didapat melalui praktek, bukan
melalui rumus atau teori, karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, baik
yang berada dalam kendali kita (subyektif) maupun yang tidak (obyektif).
Lebih-lebih lagi ketidak-valid-an pernyataan di atas bukan hanya disebabkan
oleh belum adanya fakta yang mendukung, melainkan juga cara berpikir (logika)
yang salah, yang hanya menyajikan satu skenario akhir dengan membuang
kemungkinan skenario lainnya.

Ambillah contoh seorang aktivis yang 'bersih'. Bila ia
masuk dalam suatu partai politik yang 'busuk' apakah bisa dipastikan bahwa
satu-satunya skenario adalah dia akan jadi 'busuk' juga? Bukankah ada beberapa
kemungkinan: Pertama, dia bisa menjadi 'busuk', terkooptasi. Kedua, dia bisa
tetap bersih tapi tidak bisa memperbaiki partainya sehingga harus keluar atau
dikeluarkan. Ketiga, dia mampu merombak partainya menjadi 'taubat nafsuhi'
seperti kata Yoyok, jadi bersih. Namun bagi Yoyok skenario lainnya tidak perlu
dipertimbangkan, karena menurut ramalannya sudah pasti aktivis tersebut akan
terkooptasi jadi busuk.

Permisalan tersebut bisa sedikit disamakan dengan kasus
PBR-Papernas. Hasil dari koalisi PBR-Papernas belum bisa dipastikan dan
merupakan proses yang sedang berlangsung, di mana masih terjadi tarik-menarik
kepentingan. Arah pergerakannya dipengaruhi oleh dinamika perimbangan kekuatan
yang ada baik secara internal maupun eksternal koalisi tersebut. Dan dalam hal
perimbangan kekuatan: memperjuangkan platform atau program dengan menggunakan
sebuah partai tentu jauh lebih kuat dari pada menggunakan individu.

Namun bagi Yoyok, faktor-faktor ini tidak perlu
dipertimbangkan. Apa yang sesungguhnya adalah kemungkinan, di mata Yoyok cs
menjadi keniscayaan, kepastian. Ia sejak awal sudah bisa menetapkan - mungkin
dengan indra keenam - bahwa seketika Papernas menjalankan koalisi elektoral
dengan PBR, maka sejak saat itu juga ia terkooptasi. Hebat.

Begitu pula dengan istilah-istilah lainnya yang mereka
gunakan untuk mengecam Papernas seperti terkooptasi, oportunisme,
terkapitulasi, dan banyak lainnya. Bila ditelusuri dengan seksama, tuduhan dan
pelabelan yang dilakukan seenaknya dan secara sepihak ini pada dasarnya
masihlah a-priori, tidak valid secara logika, lebih menyerupai opini atau
prediksi, bukannya fakta.

Yang menguatirkan adalah ini disajikan layaknya fakta
oleh KPRM-PRD, dan diulang-ulang terus menerus dalam tiap kesempatan. Semoga
ini bukan penerapan perkataan Goebbels, Menteri Penerangan (Pencerahan Umum dan
Propaganda) Nazi: "Kebohongan yang diulangi seribu kali akan menjadi
kebenaran".

Perjuangan elektoral: setengah hati vs sepenuh hati

Selanjutnya saya ambil tulisan Yoyok yang lain berjudul
"Pemilu 2009 Dan (Ilusi) Kaum Pergerakan".[22] Di situ ia dengan
cukup akurat merangkum alasan-alasan Papernas mengikuti Pemilu 2009:

1. Bahwa menjadi peserta pemilu, akan memberikan ruang
yang besar bagi kaum pergerakan untuk meluaskan kampanye mengenai
program-program kerakyatan.

2. Dengan meluaskan kampanye program-program kerakyatan,
diharapkan akan memperluas dukungan rakyat (dalam bentuk perluasan struktur
gerakan)

3. Dengan demikian kapasitas/kesanggupan rakyat untuk
berjuang akan semakin menguat.

4. Jika berhasil dalam pemilu, dan akhirnya berhasil
mendapatkan kursi, maka ruang kampanye akan semakin lebih luas lagi.

Di akhir tulisan Yoyok menyatakan bahwa ia "menolak
... menjadi peserta pemilu 2009, bukan karena tidak bersepakat pada empat
argumentasi ... di atas, melainkan lebih pada tidak tersedianya syarat bagi
empat argumentasi tersebut bisa praktikal:"

Syarat-syarat itu tidak dijelaskan secara lugas oleh
Yoyok, melainkan dipenuhi oleh berbagai komentar tentang hal-hal berbeda. Namun
demikian saya coba ringkaskan sebagai berikut dengan harapan tidak jauh berbeda
dari apa yang ada di kepala Yoyok. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Menggunakan Partai yang dibangun sendiri oleh kaum
pergerakan

2. Struktur yang diperluas adalah Partai sendiri; atau
bila harus menggunakan partai borjuasi maka dipilih yang memiliki struktur luas
seperti PDIP dan PKB, bukannya PBR yang bukan partai populer.

3. Peluang menang kursi DPR/D harus cukup besar

Untuk mendukung persyaratan yang diajukannya ini Yoyok
mengajukan contoh kasus dan kemungkinan skenario yang menunjukkan bahwa
Papernas tidak akan bisa menggunakan pemilu sebagai panggung program progresif.

Dan lagi-lagi, dengan berbekal pengetahuan a priori
(berandai-andai), Yoyok menyimpulkan dengan ringan: "Artinya taktik
[sebagian] kaum pergerakan untuk bergabung dengan partai-partai peserta pemilu
2009 ini, lebih di sebabkan oleh alasan pragmatis...[tidak percaya kekuatan
massa, bosan jadi miskin]"

Membandingkan antara argumen intervensi pemilu Papernas
dan persyaratan Yoyok, saya justru menarik kesimpulan berikut:

Baik Yoyok maupun Papernas setuju bahwa pemilu harus
diintervensi untuk memperluas kampanye program; namun Yoyok hanya mau
melaksanakan ini bila persyaratan yang dibuat olehnya sendiri dapat dipenuhi.
Yakni, menggunakan partai dan struktur sendiri, dan hanya bila pemilu
memberikan peluang yang cukup besar untuk menang kursi DPR/D. Persyaratan ini
pun, sejauh yang terlihat barulah merupakan pengandai-andaian. Sementara bagi
Papernas, persyaratan ini bukan utama; yang utama adalah menggunakan pemilu
untuk memperluas program-program kerakyatan, apa pun tantangannya. Tidakkah ini
bisa dibilang bahwa Papernas lebih sungguh-sungguh dan Yoyok cs, setengah hati?

Lucunya Yoyok mempermasalahkan beralihnya konsentrasi
Papernas dari aksi-aksi massa yang tak berhubungan dengan pemilu sebagai
meninggalkan pergerakan, meninggalkan aksi massa. Perbedaan prioritas atau
konsentrasi merupakan cerminan dari perbedaan strategi dan taktik, namun apakah
itu bisa dibilang meninggalkan pergerakan? Apakah ketidaksertaan Papernas dalam
aksi ABM menentang UUK 13 - karena sedang berkonsentrasi pada persiapan pemilu
- berarti Papernas tidak menyetujui atau mendukung aspirasi buruh mengenai UU
itu?

Mari kita balik permisalannya: Apakah ketidaksertaan
beberapa organ kiri (termasuk KPRM-PRD) dalam aksi-aksi LMND dan SRMI
(Papernas) dalam menuntut nasionalisasi pertambangan sejak akhir Februari 2008
lalu (bahkan tanpa ada pernyataan solidaritas pun) berarti mereka tidak
menyetujui nasionalisasi? Dan mereka tidak boleh menuntut nasionalisasi
pertambangan di kemudian hari? Masing-masing pihak tentu punya berbagai alasan
untuk menjawab ini, tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah perbedaan
seperti ini seharusnya tidak perlu dijadikan bahan untuk merendahkan dan
mengecam pihak lain.

Sekali lagi saya nyatakan, bahwa cara terbaik untuk
menyangkal argumen (persyaratan) yang diberikan Yoyok adalah melalui praktek.
Papernas harus membuktikan bahwa ajang pemilu 2009 dapat digunakan untuk
mengkampanyekan program-program kerakyatan, tepatnya anti-imperialisme
neoliberal.

4. Landasan Teori

Menguji secara praktek bukan berarti sekedar melihat
bagaimana nantinya, sebagaimana dituduhkan Zely Ariane; karena praktek Papernas
menurut saya dilandasi dan sesuai dengan teori yang ada; yakni, perjuangan
parlementer adalah suatu keharusan di saat ilusi rakyat terhadap sistem
parlemen yang demokratik (demokratik menurut ukuran borjuasi, bukan kalangan
progresif) masih kuat. Selama belum ada pemerintahan revolusioner yang cukup
kuat dan menandingi pemerintahan yang berkuasa, selama belum terbentuk parlemen
jalanan dan semacamnya maka arena parlementer adalah AJANG PERTEMPURAN UTAMA
yang HARUS dimenangkan oleh gerakan pro-rakyat.

KEKUATAN UTAMA tetap berada di luar gedung parlemen, di
tengah-tengah massa rakyat, namun parlemen yang masih dikuasai oleh kaum
anti-rakyat merupakan alat yang sangat kuat dan ampuh dalam memanipulasi rakyat,
menidurkan massa, dan mengalihkan kemarahannya. Oleh karena itu pengorganisiran
rakyat bukan saja dilakukan untuk memberdayakannya secara politik dan ekonomi,
tetapi juga untuk menguasai negara atau pemerintahan lewat jalan
konstitusional, demokratik, parlementer.

Perjuangan sungguh-sungguh kaum progresif dalam jalan
konstitusional parlementer adalah proses pembelajaran massa yang paling efektif
untuk menunjukkan kemungkinan-kemungkinan dan, yang terpenting, batasan-batasan
sistem demokrasi yang ada. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa ini
satu-satunya jalan. Namun menekankan bahwa bila jalan ini terbuka - sekecil apa
pun bukaannya- , maka inilah yang harus pertama-tama ditempuh dengan sekuat
tenaga.[23]

Independensi atau kesetiaan terhadap tujuan yang
progresif dijaga dengan menuangkan program kongkrit yang akan diperjuangkan dan
dikampanyekan secara konsisten, yang bila kemudian memenangkan badan eksekutif
akan segera diimplementasikan. Sementara persoalan alat politik milik siapa
yang digunakan, sebagaimana dipermasalahkan oleh Yoyok cs, menurut saya
bukanlah persoalan pokok bila dinilai mampu memberikan cukup ruang untuk
kampanye program kerakyatan. Setahu saya tidak ada teori yang mengatur bahwa
alat politik yang digunakan harus yang sejak awal dibangun oleh kaum
progresif.[24]

4. Penutup

Kawan Yoyok ialah seorang aktivis buruh yang militan dan
cukup saya hormati. Namun memang perlu untuk memperdebatkan posisinya karena,
menurut saya, sejumlah pandangan dan praktek Yoyok maupun kelompoknya, KPRM-PRD,
yang menyerang unsur anti-neoliberal, Papernas, [25] dan dalam beberapa kasus
merintangi upaya-upaya koalisinya [26] adalah kontra-produktif, baik bagi
perjuangan anti-neoliberal maupun bagi proses konvergensi gerakan di Indonesia.
Syarat persatuan adalah kebesaran hati untuk mengesampingkan perbedaan yang
tidak mendasar dan mengangkat tinggi-tinggi persamaan yang ada. Maka
perbedaan-perbedaan taktik, seperti ekstra atau intra-parlementer, mobilisasi
isu ini atau isu anu, seharusnya bukan jadi faktor pemecah-belah dan bisa
dikesampingkan demi mengarah pada keselarasan (kalau tidak bisa kesatuan) aksi
dan propaganda anti-neoliberal.

Maka dalam tahap awalnya, persatuan anti-neoliberalisme
sewajarnya adalah anti-neoliberalisme - yakni menyertakan seluruh sektor
masyarakat yang menjadi korban neoliberalisme dan berkepentingan menghadangnya
-; jangan justru disempitkan menjadi anti-kapitalisme, anti-reformis-gadungan,
anti-politisi-busuk, anti-sisa-orba, atau anti-anti lainnya sehingga yang
tersisa hanyalah segelintir kelompok radikal yang tak memiliki akses luas ke
massa. Perjuangan koalisi anti-neoliberalisme ini merupakan suatu proses yang
awalnya dapat menyertakan unsur-unsur yang konservatif dan mungkin diragukan
komitmennya, namun dalam perjalanannya akan menunjukkan kepada rakyat
siapa-siapa saja yang sejatinya anti-neoliberal, yang pro-rakyat. Untuk
mendulang emas, kita memulainya dengan lumpur, bukan emas.

Hanya dengan beginilah, menurut saya, anti-neoliberalisme
di Indonesia akan menjadi suatu kekuatan politik yang riil dan signifikan yang
dapat menggerakkan massa luas rakyat, bukan sekedar slogan.

Akhir kata marilah kita merefleksikan masih banyaknya
cita-cita penting reformasi yang belum terwujud, terutama menurunnya standar
kehidupan rakyat dan belum berkuasanya pemerintahan yang pro-rakyat, bahkan
setelah 10 tahun kejatuhan Suharto. Apakah strategi pergerakan untuk
menjatuhkan Suharto bisa diterapkan begitu saja dalam periode
demokrasi-neoliberal saat ini? Bukankah diperlukan strategi baru yang sesuai
dengan situasi yang telah berubah?

--------------

[1]
http://arahgerak.blogspot.com/2008/09/bualan-prd-papernas.html

[2]
http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/09/kesepakatan-tuntutan-minimum-kongkrit.html

[3] Dalam pembahasan kali ini, maupun dalam diskusi di
milis IndoProgress sebelumnya, saya menyederhanakan neoliberalisme menjadi
'kebijakan anti-rakyat'. Sudah cukup banyak tulisan yang membahas tentang
neoliberalisme; tulisan saya yang dibahas oleh Yoyok juga membahasnya secara
singkat.

[4] Di sini saya klarifikasikan bahwa tidak pernah sekali
pun saya menyatakan - baik dalam tulisan maupun perdebatan - bahwa PBR selama
ini adalah partai anti-neoliberal. Lucunya, justru ini yang diartikan oleh
Pius, Zely, dan Yoyok. Yang saya yakini sebagai partai anti-neoliberal adalah
Papernas.

Namun, karena neoliberalisme menghantam kepentingan luas
masyarakat di Indonesia, maka saya meyakini bahwa terdapat kontradiksi antara
kepentingan pro- maupun anti-neoliberal dalam jajaran anggota dan pengurus partai
besar mana pun, walaupun tentunya perimbangan kekuatan tersebut berbeda-beda
dalam masing-masing partai.

Oleh karenanya, pernyataan bahwa koalisi Papernas dengan
PBR berlandaskan anti-neoliberalisme berarti bahwa PBR memberikan ruang lebih
besar untuk kampanye program-program anti-neoliberal dibandingkan partai besar
lainnya (lagipula partai besar mana yang selama ini tidak sedikit pun
menunjukkan pro-neoliberalisme dalam rekam jejaknya? Tidak ada); dan dengan
masuknya tokoh-tokoh Papernas ke dalam PBR, maka kekuatan anti-neoliberal dalam
partai tersebut tentu mendapat suntikan tenaga. Sejauh mana koalisi dengan
Papernas akan merubah karakter PBR, atau sebaliknya, masihlah perlu dilihat ke
depannya.

[5] Permasalahan dalam gerakan anti-parlementer saat ini
merupakan suatu subyek pembahasan tersendiri dan tidak dibahas dalam tulisan
ini. Buku Max Lane terbaru, Unfinished Nation: Indonesia Before and After
Suharto, menurut kabar menyinggung persoalan ini. Walau demikian diharapkan
akan ada suatu analisa dan pembahasan yang lebih khusus tentang subyek ini.

[6] Menurut saya, kalau pun partai-partai politik
mainstream ini hendak melawan laju neoliberalisme, mereka belum tentu mampu,
karena benteng-benteng pertahanan neoliberal terletak di badan-badan yang
mempengaruhi perekonomian dan biasanya berada di luar jangkauan kontrol pejabat
terpilih, seperti Bank Sentral dan IMF (dan badan-badan donor seperti USAID),
dan juga faktor kekuatan finansial yang bila merasa terancam dapat melarikan
sejumlah besar uang untuk mencekik perekonomian (Harnecker, 2005).

Modus operandi ini terlihat, contohnya, saat kepemimpinan
Gus Dur; ketika pemerintahannya berupaya tawar-menawar dengan IMF dan menahan
pelaksanaan kebijakan neoliberal, maka beberapa kali nilai kurs Rupiah jatuh
sehingga mengguncang legitimasi politiknya. Oposisi saat itu mengartikannya
sebagai kegagalan kebijakan Gus Dur, namun ia mengklaim bahwa itu didalangi
spekulator di Singapura. Tentunya, bila eksekutif pun dikuasai oleh kekuatan
neoliberal - seperti saat ini di bawah SBY-Kalla - maka orang-orang
pro-neoliberal pun ditempatkan di posisi-posisi kabinet yang mengontrol
perekonomian.

Posisi keuangan Indonesia sekarang mungkin sudah berbeda
dengan di waktu masa Gus Dur ketika masih terbelit krisis ekonomi. Ini ditambah
lagi dengan kemunculan blok-blok alternatif seperti Tiongkok, India, Amerika
Latin, dan Rusia, yang mungkin dapat mengurangi ketergantungan terhadap modal
negeri-negeri imperialis termaju. Namun prospek anti-neoliberalisme dalam
konteks internasional ini membutuhkan pembahasan tersendiri.

[7] Harnecker M, "Tentang Strategi Kiri; Tanggapan
Terhadap Steve Ellner" (2005)
(http://kajian-indoprogress.blogspot.com/2008/08/tentang-strategi-kiri.html)

[8] http://nefos.org/?q=node/38

[9] Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan hal
serupa dengan mengadakan suatu kontrak politik untuk mendukung PBR dalam pemilu
2009, dengan syarat partai tersebut harus sepakat dan memperjuangkan
tuntutan-tuntutan SRMI. Bila itu tidak dijalankan, SRMI mengancam untuk menarik
dukungannya, mengkampanyekan kepada massanya untuk meninggalkan PBR, dan
mengambil inisiatif sendiri. Kritik saya terhadap kontrak ini sendiri adalah
program-program yang dicantumkannya (e.g. memperjuangkan pendidikan dan
kesehatan gratis, membela rakyat miskin) masih belum diterjemahkan secara lebih
kongkrit sehingga menyisakan ruang manuver bagi PBR untuk mengesampingkannya.

[10] http://nefos.org/?q=node/41

[11] Rudi Hartono menulis sebuah artikel yang menggambarkan
ancaman monopoli ritel dalam mematikan pengusaha-pengusaha yang lebih kecil di
sektor tersebut, yang juga menjadi jalur pemasaran usaha-usaha kerajinan dan
produsen berskala kecil-menengah
(http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/09/mencermati-abuse-of-dominant-position.html)

[12] Zely Ariane dan Budi Wardoyo - pendeknya tokoh-tokoh
KPRM-PRD - sepertinya memiliki antipati tak berdasar terhadap nasionalisme.
Saya membahas dengan singkat tentang hubungan nasionalisme dan perjuangan
anti-imperialisme neoliberal dalam tulisan "Kesepakatan Program
Minimum...".

Kawan Yoyok, dalam menanggapi tulisan tersebut,
mempermasalahkan pengertian saya yang menyatakan bahwa perjuangan
anti-imperialisme neoliberal di dunia ketiga atau negeri korban imperialis
adalah wajar dan benar bila berkarakter nasionalis, namun tidak demikian halnya
di negeri imperialis. Dia memperingatkan demikian:

"Data, hati-hati definisi anti-neoliberalisme anda
bisa menjadi Xenophobia. Neoliberalisme, yang juga ada di negeri-negeri asalnya,
negeri-negeri imperlisme, pun harus dilawan oleh rakyatnya sendiri dengan
bersolidaritas dengan kita!"

Apakah maksud kawan Yoyok adalah nasionalisme yang
anti-imperialis akan menciptakan Xenophobia? Saya rasa Kawan Yoyok tidak perlu
menguatirkan xenophobia terhadap rakyat negeri imperialis. Saya setuju
sepenuhnya bahwa perjuangan anti-neoliberal di negeri imperialis harus
dilakukan dengan bersolidaritas dengan kita. Namun bentuk solidaritasnya
berbeda, bukan dengan memperjuangkan kedaulatan nasional mereka dari penjajahan
asing, melainkan dengan memprotes penjajahan imperialis neoliberal yang
dilakukan oleh negara mereka sendiri. Dengan kata lain bukan berkarakter
nasionalis.

[13] Harnecker (2005) menuliskan:

"Sektor-sektor kunci dari oligarki Venezuela tak
memiliki jiwa identifikasi nasional, dan ini menjelaskan deklarasi perangnya
terhadap pemerintahan Chavez. Bukan berarti pemerintahan Chavez tidak
seharusnya melakukan upaya gabungan untuk meraih dukungan sektor-sektor bisnis
dengan suatu kebijakan kredit khusus untuk menggalakkan pengembangan mandiri,
yang menjadi tujuan pemerintah."

[14] Bisa dilihat dari pernyataan Perdana Menteri Nepal
yang berhaluan kiri, Prachanda, tentang rencana kebijakannya menyangkut modal
asing (http://nefos.org/?q=node/36), maupun dari kuliah yang diberikan oleh
Fuwa Tetsuzo tentang teori pembangunan ekonomi di Tiongkok
(http://nefos.org/?q=node/37)

[15] Yoyok salah menyangka bahwa saya tidak mengetahui
tentang pernyataan dukungan pimpinan Kadin dan APINDO terhadap kenaikan harga
BBM. Saya sebenarnya mengetahui hal itu, walaupun berada di Kanada -
terimakasih kepada dunia internet -, namun (tidak seperti Yoyok) saya tidak
menyimpulkan begitu saja bahwa pernyataan pimpinan Kadin dan APINDO mewakili
sikap seluruh pengusaha di Indonesia.

[16] Sebagai contoh bisa dilihat komentar MS Hidayat,
ketua Kadin, yang dimuat oleh Antara pada 27 Mei 2008
(http://www.antara.co.id/arc/2008/5/27/pengusaha-harus-bertahan-biaya-transportasi-dan-makan-sulit-naik/):

"Sebelum naik [harga BBM] saja marjin profit sudah
lima persen, sekarang setelah kenaikan bisa di bawah lima persen,"

[17] Berikut cuplikan berita yang menggambarkan komentar
pengusaha menyangkut kenaikan harga BBM:

"Kenaikan BBM memang akan menambah beban usaha tapi
akan seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula, jika ditambah beban dengan
pengeluaran yang sebagaimana perlunya ada, maka sudah naik BBM ditimpa dengan
ekonomi biaya tinggi." (http://www.gafeksi.or.id/warta/78/index.htm) -
Juli 2008

"Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(Kadin), MS Hidayat mengatakan, hingga enam bulan ke depan merupakan masa
`recovery` bagi pengusaha akibat kenaikkan harga BBM, karena itu pengusaha akan
kesulitan untuk menaikkan biaya transportasi dan makan karyawan.

"Sampai enam bulan adalah masa `recovery` setelah
terpukul oleh kenaikan BBM. Salah satu upaya menyelamatkan perusahaan adalh
tidak menaikkan biaya transport dan makan, tapi itu tidak disamakan di semua
perusahaan,"" (http://www.antara.co.id/arc/2008/5/27/pengusaha-harus-bertahan-biaya-transportasi-dan-makan-sulit-naik/)

"Pihaknya [ketua Apindo, Sofjan Wanandi]
menjelaskan, pengusaha meminta pemerintah tidak menaikkan harga BBM untuk
sektor transportasi publik. Sebab, jika harga BBM menjadi mahal, pengusaha sama
saja tertimpa dua kali masalah, yakni kenaikan biaya produksi dan upah
karyawan."
(http://www.indotextiles.com/index.php?option=com_content&task=view&id=302&Itemid=72)
- 2 Mei 08

[18] "Kenaikan harga BBM akan terasa sekali oleh
perusahaan menengah ke bawah, terutama industri makanan olahan," kata Agus
[Gustiar, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat]
menambahkan."

(http://www.antara.co.id/arc/2008/5/23/bbm-naik-pengusaha-sulit-cegah-phk/)

[19] Berbeda dengan kenaikkan BBM sebelumnya pada tahun
2005, kenaikkan BBM tahun ini dipersiapkan dengan lebih matang, antara lain
dengan melobi pengusaha pada awal Mei untuk mendukung kebijakan tersebut,
sebagaimana yang dilakukan oleh Jusuf Kalla
(http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/05/10/brk,20080510-122825,id.html).

Lihat cuplikan berita berikut pada 2 Juni 2008; komentar
Sofjan Wanandi nadanya telah diperhalus dibandingkan pernyataannya pada awal
Mei di atas
(http://apindo.or.id/baru/kliping/aW5mbyw2OTA=?e9fa20710b9c9715986c8457eb3654b9=40370a745d0ff75d1e168bfd15722e82):

"...Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi, mengatakan,
kalangan dunia usaha pasti akan merasakan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Dalam hal ini, kalangan dunia usaha memahami kesulitan yang dialami pemerintah
terkait besaran subsidi untuk BBM...

...Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus secepatnya
menaikkan harga BBM sehingga bisa memberikan kepastian kepada pengusaha untuk
melakukan penyesuaian. "Sekarang ini serba tidak jelas, semuanya masih
serba mungkin. Tentunya jika terus tanpa kepastian, yang rugi pengusaha. Saat
ini semuanya minta dibayar tunai (pemasok) dengan tempo singkat. Belum lagi
kenaikan harga yang sudah terjadi meski harga BBM belum dinaikkan. Sementara,
kita masih bingung untuk melakukan penyesuaian," tutur Sofjan."

[20] Belum jelas apakah korban-neoliberalisme ini
termasuk apa yang disebutkan Yoyok cs (KPRM-PRD) sebagai "rakyat
miskin". Sering kali istilah "rakyat miskin" diberi tanda kurung
dan disandingkan dengan "rakyat pekerja", sedangkan korban
neoliberalisme menyertakan juga mereka yang tidak termasuk kelas pekerja.
Sejauh ini belum terlihat definisi yang jelas tentang 'rakyat miskin' yang
dimaksudkan oleh KPRM-PRD, walaupun bisa jadi itu serupa dengan istilah Sukarno
"marhaen" atau istilah James Petras "kelas kerakyatan"
(popular classes).

[21] lihat website KPRM-PRD
http://kprm-prd.blogspot.com/2008/01/proposal-politik-intervensi-pemilu-2009.html

[22]
http://arahgerak.blogspot.com/2008/08/respon-pemilu-2009.html

[23] Meskipun berulang-kali disangkal oleh berbagai
individu yang terkait dengan KPRM-PRD, saya mencurigai bahwa penentangan
KPRM-PRD terhadap strategi elektoral Papernas sebenarnya bukan sekedar
perbedaan taktik elektoral (koalisi dengan partai mainstream vs bersikeras maju
dengan partai sendiri walaupun belum dimungkinkan dan akhirnya golput),
melainkan bersumber dari perbedaan cara pandang atau ideologi tentang
memenangkan kekuasaan revolusioner: antara setuju perjuangan parlementer dan
tidak.

KPRM-PRD sepertinya memiliki keyakinan (yang masih perlu
diuji dalam praktek) bahwa perjuangan memenangkan pemerintahan pro-rakyat tidak
bisa dilakukan lewat mekanisme demokratik yang ada, melainkan harus melalui
cara-cara yang lebih radikal seperti pembentukan dewan rakyat. Saya rasa ini
penyebab dari kesetengahatian mereka menempuh jalan parlementer. Pandangan ini
sendiri menurut saya tidak bisa dibilang salah, mengingat banyaknya kekalahan
tragis dalam sejarah berbagai perjuangan legal untuk mencapai kekuasaan rakyat.
Namun dalam prakteknya, dalam pendemonstrasiannya ke rakyat, ide ini lebih
tepat bila diterapkan dengan melakukan intervensi sepenuh hati dalam praktek
demokrasi yang ada, untuk memperagakan dan mengubah batasan-batasannya,
bukannya mengecam dan mencaci-makinya dari luar proses yang berjalan.

[24] Ini menarik untuk dijadikan topik diskusi
tersendiri.

[25] Kawan Zely dalam diskusi di Indoprogress
mempertanyakan apa yang saya maksudkan dengan KPRM-PRD menyerang Papernas.

Yang saya maksudkan dengan menyerang adalah melakukan
kampanye ke umum untuk menjatuhkan kredibilitas sesama kelompok pergerakan.
Berbeda dengan melakukan polemik atau perdebatan. KPRM-PRD bisa saja mengkritik
habis-habisan koalisi Papernas-PBR dalam perdebatan, namun melakukan kampanye
hitam (black campaign) ke umum dan mencap Papernas dengan sebutan-sebutan
negatif (oportunis, dsb) hanya dengan berdasarkan asumsi adalah sesuatu yang
sama sekali berbeda.

[26] Contohnya, baru-baru ini terungkap bahwa KPRM-PRD
mengupayakan agar LMND (salah satu unsur Papernas) ditolak menjadi bagian dari
organ solidaritas yang semestinya berprinsip terbuka, Hands Off Venezuela.
Lihat surat Zely Ariane
(http://groups.yahoo.com/group/diskusi_amerikalatin/message/262).

Baca
Selengkapnya!

"Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia" (Multatuli)
Stand up for Democracy! Website http://www.arahkiri2009.blogspot.com

Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Search

Start Searching

Find everything

you're looking for.

Yahoo! Groups

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals.

Yahoo! Groups

Come check out

featured healthy living

groups on Yahoo!

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
Ahli yang menghantar menggunakan kata-kata kesat dan kasar atau menyerang peribadi ahli yang lain, email mereka tidak akan disiarkan.

Ahli group yang sentiasa menghantar email berkenaan politik sahaja akan disiarkan emailnya tanpa penapisan moderator group.

Email yang disiarkan dipertanggungjawabkan kepada pengirim email tersebut dimana moderator dan group tidak boleh dipertanggungjawabkan.

=============================================
Link List:
•      Lirik Lagu Popular - http://www.lirikpopular.com     
•      Spa Q              - http://spa-q.blogspot.com     
•      Auto Insurance     - http://pdautoinsurance.blogspot.com     

No comments:

Alexa Traffic Rank

Subscribe to dunia-politik

Subscribe to dunia-politik
Powered by groups.yahoo.com